Oleh
:
THOMAS TUNGA
Manusia pada dasarnya sejak lahir memiliki akal, emosi dan perasaan. Hal-hal dasariah ini bisa dimatangkan melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia bisa membentuk dan dibentuk menjadi pribadi yang bermartabat, tahu menghargai diri, sesama, lingkungan dan Tuhan.
Namun hal ini hanya mungkin bisa tercapai
kalau sekolah sebagai lembaga pendidikan memperhatikan pelbagai kecerdasan
manusia secara integral. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial.
Beragam kecerdasan ini harus dibentuk secara seimbang, tidak boleh dipisahkan
satu sama lain. Kecerdasan intelektual, misalnya, dibentuk untuk mematangkan
akal. Demikian juga kecerdasan emosional, spiritual dan sosial dibentuk untuk
mematangkan emosi, kepekaan batin dan afeksi.
Secara konstitutif, pembentukan kecerdasan
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam UU tersebut, pendidikan dipandang sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mengembangkan potensi diri peserta didik. Dan potensi yang
dimaksud adalah kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan baik untuk dirinya sendiri,
masyarakat maupun bangsa dan negara. Undang-undang ini mengisyaratkan
pendidikan yang holistik (menyeluruh), bukan parsial.
Berkaitan dengan pendidikan yang holistik
ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhir-akhir ini
gencar mencanangkan pendidikan karakter. Hal ini menyata dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, yang dipertegas lagi dalam kurikulum 2013. Dalam
kurikulum tersebut, Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta
sistem penilaian harus disisipkan juga dengan karakter yang ingin dibangun
dalam setiap indikator pembelajaran.
Pendidikan karakter dipandang sebagai
aspek penting yang harus diperjuangkan (diperhatikan), dan perjuangan itu harus
dilakukan secara kontinu. Tanpa memperhatikan pendidikan karakter, sebuah lembaga
pendidikan hanya akan menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual,
namun tidak cerdas secara emosional, afektif, spiritual dan sosial. Pendidikan
pun akan menjadi pincang.
Beberapa dampak dari pendidikan yang
pincang adalah, misalnya, peserta didik gampang terlibat dalam tawuran, gampang
marah dan mengekpresikan kemarahan dengan cara yang kurang wajar. Peserta didik
juga cenderung menyontek, bahkan terlibat dalam kasus pencurian, kasus asusila
serta pelbagai perilaku kurang etis lainnya.
Nah, siapa yang bertanggung jawab atas
pendidikan karakter? Dalam sebuah lembaga pendidikan, pendidikan karakter
biasanya menjadi tanggung jawab para pendidik yang mengampu mata pelajaran
Agama, PPKn dan Bimbingan Konseling (untuk sekolah menengah). Mengapa? Karena
mata pelajaran tersebut berkaitan langsung dengan pembentukan kepribadian
peserta didik.
Namun sesungguhnya, pendidikan karakter
tidak hanya bergantung pada para pendidik mata pelajaran tersebut. Para
pendidik dalam sebuah lembaga pendidikan harus memiliki tanggung jawab yang
sama terhadap pendidikan karakter. Di sini nilai keteladanan hidup menjadi hal
yang sangat penting. Para pendidik tidak hanya mengajarkan teori-teori,
nilai-nilai atau memberikan nasihat-nasihat kepada para peserta didik, melainkan
juga mewujudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.
Para pendidik, misalnya, tidak hanya
mengajarkan norma saling menyapa kepada peserta didik, melainkan juga
mempraktikkan norma itu baik di lingkungan sekolah maupun dalam pelbagai
konteks hidupnya. Dalam hal saling menyapa, seorang pendidik tidak mesti
menunggu disapa oleh peserta didik, melainkan juga pendidik memberi contoh
untuk menyapa terlebih dahulu.
Seorang guru sedang mengajar di kelas di
hadapan para siswa
Demikian pun dalam hal kedisiplinan waktu
dan kedisiplinan kerja, para pendidik selain mengajarkan nilai-nilai itu, juga
mesti mempraktikkannya. Pendidikan karakter akan berhasil apabila hal-hal
praktis ini mendapat perhatian serius. Sebab, keteladanan adalah model
pendidikan yang paling ampuh. Kalau tidak, pendidikan hanya akan menjadi NATO (no action, talk only).
Patut diakui bahwa pelbagai lembaga
pendidikan belum mampu menerapkan pendidikan karakter secara utuh. Lembaga
pendidikan lebih mengutamakan pelbagai mata pelajaran yang diuji dalam ujian
nasional. Alhasil, lembaga pendidikan dianggap berhasil kalau persentase
kelulusan para peserta didiknya menjulang tinggi, atau lulus seratus persen.
Ujian nasional pun menjadi indikator keberhasilan pendidikan.
Pihak yang menjunjung tinggi ujian
nasional sebagai indikator keberhasilan pendidikan adalah pemerintah. Kemudian,
diikuti lembaga pendidikan. Dan yang terakhir adalah para orang tua peserta
didik. Lembaga pendidikan yang sering memiliki persentase kelulusan yang tinggi
seringkali diminati oleh para orang tua dan peserta didik itu sendiri. Mereka
beranggapan bahwa anak-anak mereka akan lulus kelak.
Dalam konteks ini, fokus perhatian
pemerintah, pengelola pendidikan, pendidik dan peserta didik pun akan lebih
banyak terarah pada pelbagai mata pelajaran yang akan diujikan dalam ujian
nasional. Nah di sini, bukankah pendidikan karakter semakin terhimpit dan
tersisihkan? Padahal, kita semua tahu bahwa persentase kelulusan itu sendiri
tidak menentukan keberhasilan pendidikan karakter. Seorang siswa yang lulus
dengan nilai tinggi, tidak otomatis memiliki karakter yang baik. Sebaliknya,
seorang siswa yang lulus dengan nilai rendah atau bahkan yang tidak lulus sekalipun,
tidak berarti bahwa ia memiliki karakter yang buruk.
Sampai pada titik ini, kita pun patut
mempertanyakan ujian nasional sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Bukan
cuma saya, banyak pihak yang mengutarakan sikap dan pandangan yang “mempertanyakan”
tersebut. Bahkan, banyak pihak ingin ujian nasional ditiadakan saja. Namun
pemerintah tetap pada pendiriannya untuk tetap mengadakan ujian nasional
sekalipun sekian sering ujian nasional terus menjadi momok bagi para peserta
didik, lembaga pendidikan dan orang tua.
Suasana Ujian Nasional
Namun di sisi lain, pemerintah tetap
mengedepankan pendidikan karakter. Nah pertanyaan kita adalah di manakah tempat
pendidikan karakter berkaitan dengan kualitas pendidikan itu sendiri? Apakah
pendidikan karakter tidak bisa dijadikan indikator bagi lulus tidaknya peserta
didik?
Sejauh ini, pemerintah telah memberikan
pelbagai kriteria untuk menilai karakter peserta didik. Dan lembaga-lembaga
pendidikan diberikan kewajiban untuk menjabarkan kriteria-kriteria tersebut ke
dalam situasi-situasi nyata. Tapi tampaknya memang aneh, ketika penilaian
terhadap karakter sama sekali tidak menjadi indikator kelulusan peserta didik. Semestinya,
hal yang aneh ini tidak boleh terjadi demi meningkatkan kualitas pendidikan itu
sendiri.
Soal kenaikan kelas siswa, misalnya.
Seorang siswa semestinya akan naik kelas atau tidak, bukan cuma dinilai dari
hasil ulangan, tugas dan ujian semester yang ia peroleh (uji kualitas
intelektual), melainkan juga dinilai dari karakter-karakter pribadinya (uji
kualitas kepribadian). Bahkan penilaian dari sudut karakter semestinya
menentukan apakah seorang siswa bisa mengikuti ujian nasional atau tidak. Jadi
seorang siswa tidak saja dilihat dari kualitas intelektualnya.
Perjalanan sebuah lembaga pendidikan dari
waktu ke waktu, seringkali mengabaikan penilaian dari sudut pendidikan karakter
ini. Lembaga pendidikan dengan militan memperjuangkan siswanya bisa lulus dalam
ujian nasional. Demikian pun para siswa berjuang untuk belajar dengan sekuat
tenaga mengasah otaknya dengan mempelajari materi yang diuji dalam ujian
nasional. Orang tua juga terjebak dalam sistem ini. Mereka senantiasa
mengharapkan anaknya bisa lulus ujian nasional. Pendidikan karakter siswa yang
sebetulnya juga menjadi barometer kualitas pendidikan baik kualitas pendidik,
peserta didik maupun kualitas lembaga pendidikan, kurang mendapat tempat.
Kita berharap, tempat pendidikan karakter
itu dikembalikan pada porsi yang sebenarnya. Untuk itu, pendidikan karakter
mesti selalu disoroti bukan malah digeser ke pinggir, lalu diabaikan. Dalam
perjuangan ini, pelbagai lembaga pendidikan harus berada pada posisi terdepan
demi memajukan pendidikan karakter peserta didik bangsa kita dan demi martabat
manusia itu sendiri.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar