Sabtu, 08 Februari 2014

Pendidikan



Oleh    :  THOMAS TUNGA





 Alumnus STFK Ledalero, Staf Pengajar SMP Frater Maumere
Manusia pada dasarnya sejak lahir memiliki akal, emosi dan perasaan. Hal-hal dasariah ini bisa dimatangkan melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia bisa membentuk dan dibentuk menjadi pribadi yang bermartabat, tahu menghargai diri, sesama, lingkungan dan Tuhan.
Namun hal ini hanya mungkin bisa tercapai kalau sekolah sebagai lembaga pendidikan memperhatikan pelbagai kecerdasan manusia secara integral. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. Beragam kecerdasan ini harus dibentuk secara seimbang, tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Kecerdasan intelektual, misalnya, dibentuk untuk mematangkan akal. Demikian juga kecerdasan emosional, spiritual dan sosial dibentuk untuk mematangkan emosi, kepekaan batin dan afeksi.
Secara konstitutif, pembentukan kecerdasan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, pendidikan dipandang sebagai usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri peserta didik. Dan potensi yang dimaksud adalah kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan baik untuk dirinya sendiri, masyarakat maupun bangsa dan negara. Undang-undang ini mengisyaratkan pendidikan yang holistik (menyeluruh), bukan parsial.
Berkaitan dengan pendidikan yang holistik ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhir-akhir ini gencar mencanangkan pendidikan karakter. Hal ini menyata dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang dipertegas lagi dalam kurikulum 2013. Dalam kurikulum tersebut, Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta sistem penilaian harus disisipkan juga dengan karakter yang ingin dibangun dalam setiap indikator pembelajaran.
Pendidikan karakter dipandang sebagai aspek penting yang harus diperjuangkan (diperhatikan), dan perjuangan itu harus dilakukan secara kontinu. Tanpa memperhatikan pendidikan karakter, sebuah lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun tidak cerdas secara emosional, afektif, spiritual dan sosial. Pendidikan pun akan menjadi pincang.
Beberapa dampak dari pendidikan yang pincang adalah, misalnya, peserta didik gampang terlibat dalam tawuran, gampang marah dan mengekpresikan kemarahan dengan cara yang kurang wajar. Peserta didik juga cenderung menyontek, bahkan terlibat dalam kasus pencurian, kasus asusila serta pelbagai perilaku kurang etis lainnya.
Nah, siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan karakter? Dalam sebuah lembaga pendidikan, pendidikan karakter biasanya menjadi tanggung jawab para pendidik yang mengampu mata pelajaran Agama, PPKn dan Bimbingan Konseling (untuk sekolah menengah). Mengapa? Karena mata pelajaran tersebut berkaitan langsung dengan pembentukan kepribadian peserta didik.
Namun sesungguhnya, pendidikan karakter tidak hanya bergantung pada para pendidik mata pelajaran tersebut. Para pendidik dalam sebuah lembaga pendidikan harus memiliki tanggung jawab yang sama terhadap pendidikan karakter. Di sini nilai keteladanan hidup menjadi hal yang sangat penting. Para pendidik tidak hanya mengajarkan teori-teori, nilai-nilai atau memberikan nasihat-nasihat kepada para peserta didik, melainkan juga mewujudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.
Para pendidik, misalnya, tidak hanya mengajarkan norma saling menyapa kepada peserta didik, melainkan juga mempraktikkan norma itu baik di lingkungan sekolah maupun dalam pelbagai konteks hidupnya. Dalam hal saling menyapa, seorang pendidik tidak mesti menunggu disapa oleh peserta didik, melainkan juga pendidik memberi contoh untuk menyapa terlebih dahulu.


Seorang guru sedang mengajar di kelas di hadapan para siswa


Demikian pun dalam hal kedisiplinan waktu dan kedisiplinan kerja, para pendidik selain mengajarkan nilai-nilai itu, juga mesti mempraktikkannya. Pendidikan karakter akan berhasil apabila hal-hal praktis ini mendapat perhatian serius. Sebab, keteladanan adalah model pendidikan yang paling ampuh. Kalau tidak, pendidikan hanya akan menjadi NATO (no action, talk only).
Patut diakui bahwa pelbagai lembaga pendidikan belum mampu menerapkan pendidikan karakter secara utuh. Lembaga pendidikan lebih mengutamakan pelbagai mata pelajaran yang diuji dalam ujian nasional. Alhasil, lembaga pendidikan dianggap berhasil kalau persentase kelulusan para peserta didiknya menjulang tinggi, atau lulus seratus persen. Ujian nasional pun menjadi indikator keberhasilan pendidikan.
Pihak yang menjunjung tinggi ujian nasional sebagai indikator keberhasilan pendidikan adalah pemerintah. Kemudian, diikuti lembaga pendidikan. Dan yang terakhir adalah para orang tua peserta didik. Lembaga pendidikan yang sering memiliki persentase kelulusan yang tinggi seringkali diminati oleh para orang tua dan peserta didik itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka akan lulus kelak.
Dalam konteks ini, fokus perhatian pemerintah, pengelola pendidikan, pendidik dan peserta didik pun akan lebih banyak terarah pada pelbagai mata pelajaran yang akan diujikan dalam ujian nasional. Nah di sini, bukankah pendidikan karakter semakin terhimpit dan tersisihkan? Padahal, kita semua tahu bahwa persentase kelulusan itu sendiri tidak menentukan keberhasilan pendidikan karakter. Seorang siswa yang lulus dengan nilai tinggi, tidak otomatis memiliki karakter yang baik. Sebaliknya, seorang siswa yang lulus dengan nilai rendah atau bahkan yang tidak lulus sekalipun, tidak berarti bahwa ia memiliki karakter yang buruk.
Sampai pada titik ini, kita pun patut mempertanyakan ujian nasional sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Bukan cuma saya, banyak pihak yang mengutarakan sikap dan pandangan yang “mempertanyakan” tersebut. Bahkan, banyak pihak ingin ujian nasional ditiadakan saja. Namun pemerintah tetap pada pendiriannya untuk tetap mengadakan ujian nasional sekalipun sekian sering ujian nasional terus menjadi momok bagi para peserta didik, lembaga pendidikan dan orang tua.


Suasana Ujian Nasional


Namun di sisi lain, pemerintah tetap mengedepankan pendidikan karakter. Nah pertanyaan kita adalah di manakah tempat pendidikan karakter berkaitan dengan kualitas pendidikan itu sendiri? Apakah pendidikan karakter tidak bisa dijadikan indikator bagi lulus tidaknya peserta didik?
Sejauh ini, pemerintah telah memberikan pelbagai kriteria untuk menilai karakter peserta didik. Dan lembaga-lembaga pendidikan diberikan kewajiban untuk menjabarkan kriteria-kriteria tersebut ke dalam situasi-situasi nyata. Tapi tampaknya memang aneh, ketika penilaian terhadap karakter sama sekali tidak menjadi indikator kelulusan peserta didik. Semestinya, hal yang aneh ini tidak boleh terjadi demi meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Soal kenaikan kelas siswa, misalnya. Seorang siswa semestinya akan naik kelas atau tidak, bukan cuma dinilai dari hasil ulangan, tugas dan ujian semester yang ia peroleh (uji kualitas intelektual), melainkan juga dinilai dari karakter-karakter pribadinya (uji kualitas kepribadian). Bahkan penilaian dari sudut karakter semestinya menentukan apakah seorang siswa bisa mengikuti ujian nasional atau tidak. Jadi seorang siswa tidak saja dilihat dari kualitas intelektualnya.
Perjalanan sebuah lembaga pendidikan dari waktu ke waktu, seringkali mengabaikan penilaian dari sudut pendidikan karakter ini. Lembaga pendidikan dengan militan memperjuangkan siswanya bisa lulus dalam ujian nasional. Demikian pun para siswa berjuang untuk belajar dengan sekuat tenaga mengasah otaknya dengan mempelajari materi yang diuji dalam ujian nasional. Orang tua juga terjebak dalam sistem ini. Mereka senantiasa mengharapkan anaknya bisa lulus ujian nasional. Pendidikan karakter siswa yang sebetulnya juga menjadi barometer kualitas pendidikan baik kualitas pendidik, peserta didik maupun kualitas lembaga pendidikan, kurang mendapat tempat.
Kita berharap, tempat pendidikan karakter itu dikembalikan pada porsi yang sebenarnya. Untuk itu, pendidikan karakter mesti selalu disoroti bukan malah digeser ke pinggir, lalu diabaikan. Dalam perjuangan ini, pelbagai lembaga pendidikan harus berada pada posisi terdepan demi memajukan pendidikan karakter peserta didik bangsa kita dan demi martabat manusia itu sendiri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar