Sabtu, 30 Agustus 2014

ingin belajar sejarah la

Glosary versi 1 sejarah
3 G, Gold, Glory, :
Tiga kata semangat untuk mencari kekayaan ekonomi
Gospel (emas),
kejayan politik dan menyebarkan agama Kristen
Absolut :
Mutlak, kekuasaan yang besar, tidak terbatas.
Akulturasi :
perpaduan antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
Arus Balik :
teori yang mengatakan bahwa proses kedatangan Hindu ke Indoensia dilakukan oleh orang Indonesia asli
Asimilasi :
perpaduan antara dua kebudayaan yang memunculkan kebudayaan yang khas, perkembangan dari proses akulturasi
Autarki :
setiap daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan memenuhi kebutuhan perang
Brahmana :
kaum pendeta dalam agama Hindu, juga dikenal sebagai salah satu teori kedatangan adama Hindu ke Indonesia
Budaya :
hasil dari akal dan budi manusia dalam merespons lingkungan dan sekitarnya
Candi :
bangunan yang didirikan umat Buddha dan Hindu sebagai tempat penyimpanan abu jenazah raja sekaligus sebagai tempat penghormatan terhadap para dewa
Dokuritsu Junbi Cosakai:
Istilah dalam bahasa Jepang yang berarti BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia)
Dark Ages :
Zaman kegelapan yang di mulai dari akhir abad ke-4 s.d. awal abad ke-15 di Eropa
Demokrasi :
Pemerintahan atas asas kerakyatan; pemerintahan rakyat (dengan perwakilan).
Demokrasi :
pemerintahan “dari rakyat untuk rakyat” dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggungjawab, jaminan kewajiban sipil, pemerintah berdasarkan undang-undang, dan asas mayoritas; demokrasi bukan ideologi politik (seperti dalam liberalisme klasik) atau untuk kepentingan partai (seperti dalam komunisme), melainkan untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat
Dewa-dewi :
roh atau makhluk gaib yang dianggap memililiki kekuasaan atas sesuatu di alam bumi dan atas manusia; dewa digambarkan berjenis kelamin pria, dewi berjenis kelamin wanita; mayoritas penduduk bumi sebelum mengenal kepercayaan satu Tuhan, menyembah dewa-dewi ini sebagai rasa syukur.
Dialektika :
bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semensta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan menimbulkan hal yang lain (ajaran filsafat Hegel)
Egalite :
prinsip yang disampaikan oleh J.J Roussou yakni menjunjung tinggi persamaan
East Ekspor :
Pengiriman barang dagangan ke luar negeri.
Feodal :
penguasaan tanah/daerah/wilayah; karakteristik hidup suatu masyarakat dengan corak (dipengaruhi) oleh sifat kebangsawanan
Feodal :
Penguasaan tanah/daerah/wilayah; karakteristik hidup suatu masyarakat dengan corak (dipengaruhi) oleh sifat kebangsawanan.
Feodalisme :
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Fraternite :
prinsip yang disampaikan oleh J.J Roussou yakni menjunjung tinggi persaudaraan
Fujinkai :
Himpunan Wanita
Guguyun :
Tentara sukarela
Gunseikan :
Kepala pemerintahan militer
Halal bi halal :
tradisi saling memaafkan pada hari raya Idul Fitri bagi umat Islam
Hartal :
taktik perjuangan yang dilakukan Mahatma Gandhi untuk melawan kekuasaan Inggris di India dengan tidak melakukan kekerasan, tidak memakai barang-barang buatan Inggris, tidak membantu pemerintah dalam bidang apapun, dan dengan cara pemogokan.
Heiho :
Pembantu Prajurit Jepang
Hijriyah :
tarikh atau sistem kalender yang dipakai umat muslim, yang
dimulai sejak Nabi beserta pengikutnya pindah (bahasa Arabnya: hijrah) dari Mekah ke Madinah yang terjadi pada awal abad ke- 7 Masehi
Hizbullah :
Tentara Allah
Home Industri :
Usaha ekonomi secara tradisional yang dilakukan di (Industri Rumahan) rumah
Imperialisme modern:
Pengusaan yang dilakukan negara-negara barat terhadap negaranegara timur untuk mendapatkan bahan ekonomi.
Independence :
Pernyataan koloni-koloni di Amerika dari penguasaan yang dilakukan oleh Inggris.
EAST India Company:
Kongsi dagang milik Inggris yang berada di India
(EIC)
Industri :
Proses membuat atau menghasilkan suatu barang
Industrialisasi :
Usaha menggalakkan industri dalam suatu negara/ pengindustrian.
Integrasi :
penyatuan antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
Intensif :
Secara terus-menerus
Interaksi :
hubungan antara dua unsur kehidupan atau proses saling kerjasama dalam kehidupan manusia
Islamisasi :
proses perkenalan dan penyebaran Islam di suatu tempat, bisa dilakukan secara damai atau kekerasan
Piagam Jakarta :
Suatu dokumen yang beriri rumusan asas dan tujuan Negara Indonesia merdeka yang dihasilkan dari BPUPKI
Kaigun :
Angkatan Laut Jepang
Kakawin :
karya sastra peninggalan masa Hindu-Buddha yang berisikan gubahan atau saduran dari cerita-cerita yang aslinnya; misalnya Kakawin Mahabharata merupakan gubahan dari epik asal India yang berjudul sama: Mahabharata
Kaligrafi :
dalam dunia Islam, seni ini merupakan seni menulis indah, biasanya diambil dari kalimat atau ayat Al-Quran; dalam budaya non-Islam pun dikenal seni kaligrafi ini, misalnya di Cina, Jepang, Korea
Kasta :
sistem yang mengatur tinggi-rendahnya derajat sosial seseorang berdasarkan kedudukan politik dan ekonomi
Keibodan :
Barisan Pembantu Polisi
Keraton :
tempat raja dan keturunannya hidup dan tinggal.
Khalifah :
pemimpin (bahasa Arab) yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan umat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, bahkan urusan agama
Khawarij :
semula kaum pengikut Ali bin Abi Thalib, namun kemudian membelot karena Ali berdamai dengan Muawiyah; bahkan orang-orang Khawarij-lah yang kemudian membunuh Husein bin Ali
Kitab :
tulisan berupa kisah, cerita, sejarah, dan kadang campuran antara legenda-mitos-sejarah yang pada masa Hindu-Buddha ditulis oleh pujangga (sastrawan) istana; bahan yang pakai adalah daun lontar, dluwang, batang bambu, dan lain-lain
Koloni :
Masyarakat yang pindah ke tempat lain kemudian mendirikan komunitas tersendiri.
Komunisme :
Faham yang menghendaki kehidupan yang bersendikan kepunyaan bersama (lanjutan dari sosialisme); menurut komunisme, segala kejadian di dunia ini seperti halnya hidup, mati, panas, dingin, hujan, geledek, serta nasib manusia tidaklah ditentukan oleh suatu kekuasaan gaib yang tidak nampak oleh panca indera, melainkan ditentukan oleh hukum-hukum yang sudah dikandung dalam masing-masing benda itu sendiri.
Konstitusional :
pemerintahan yang dipegang oleh seorang raja dengan dibatasi oleh undang-undang
Ksatria :
kaum raja dan prajurit dalam agama Hindu, juga dikenal sebagai salah satu teori kedatangan adama Hindu ke Indonesia
Kun Chang Tang :
partai politik berideologi komunisme di Cina
Kuo Min Tang :
partai politik berideologi nasionalisme di Cina
Land Rente System :
Sebutan sistem sewa tanah pada masa pemerintahan Raffles
Lebaran :
hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal Hijriah setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebelum (Idul Fitri); Lebaran Haji: hari raya Idul Adha
Liberalisme :
suatu aliran pemikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin
Liberte :
Prinsip yang disampaikan oleh J.J. Roussou yakni menjunjung tinggi kebebasan.
Mahzab :
liran dalam Islam berdasarkan pada perbedaan aspek cara-cara peribadatan, terutama masalah syariah
Manufaktur :
Usaha ekonomi yang sudah berbentuk perusahaan
Marxisme :
paham Karl Marx tentang ilmu sejarah yang terdiri atas suatu sistem konsep-konsep ilmiah baru yang memberikan kemungkinan mempelajari sejarah sebagai sebuah ilmu, yang sebelumnya hanya menjadi ideologi atau filsafat sejarah; juga disebut materialisme sejarah (historis), sedangkan oleh Engels disebut materialisme dialektis; yang terpenting dalam ajaran Marx adalah perjuangan kelas, ajaran basis-superstruktur masyarakat, dan revolusi.
Masjid :
tempat utama beribadah umat Islam seperi shalat, zikir, berdiskusi, ceramah
Modernisasi :
Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.
Monarki :
Kerajaan; pemerintahan oleh raja.
Mufti :
semacam penasehat sultan dinasti Islam dalam menentukan kebijakan pemerintahan
Nasionalisme :
suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu
kepada negara dan bangsa (Hans Kohn), yang muncul karena adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama (Otto Bouer) dan muncul ketika ada keinginan untuk bersatu (Ernest Renant)
Pajak :
Iuran yang harus dibayarkan oleh seluruh rakyat sebagai sumbangan pada negara.
Pan Islamisme :
penjelmaan modern dari ajaran tradisional Islam mengenai persatuan antarumat Islam (al wahdah al-Islamiyyah atau al-ittihad al-Islamiyyah).
Parafrasa :
menulis kembali berdasarkan kalimat-kalimat ciptaan sendiri; bukan sekadar mengalihbahaskan semata
Patung :
atau arca; batu atau kayu yang dipahat membentuk mahluk (manusia, hewan, tumbuhan) yang dibuat oleh seniman handal: biasanya disimpan dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan raja yang disembah.
Pegon :
aksara Arab yang dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa atau Melayu Kuno
Perang Candu :
perang yang terjadi antara Cina dengan Inggris yang disebabkan oleh perkara Candu
Perang Salib :
peperangan antara kaum muslim melawan tentara Kristen-Eropa dalam merebut Kota Yerusalem di Palestina
Politik Isolasi :
strategi untuk membendung pangaruh dari luar dengan cara melarang orang-orang asing untuk masuk ke wilayahnya
Prasasti :
tulisan yang memuat informasi sejarah yang ditulis pada batu tersendiri atau ditatah pada bagian tertentu candi; bahan lain membuat prasasti adalah logam
Rasyidin :
empat sahabat Nabi yang menjadi pemimpin umat Islam menurut kaum Sunni, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali
Relief :
seni pahat pada dinding candi yang terbuat dari batu yang melukisan cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab suci maupun sastra
Renaissance :
Sebutan awal abad ke-15 di Eropa;yang maksudnya lahirnya kembali peradaban Yunani dan Romawi kuno dengan ciri kehidupan memberikan kebebasan untuk berpikir kepada setiap orang
Republik :
Bentuk negara yang umumnya dipimpin oleh seorang presiden.
Revolusi Industri :
 Perubahan radikal dalam cara pembuatan atau memproduksi barang-barang dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemproses
Revolusi :
Perubahan secara cepat atau perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang atau di suatu tempat
Rikugun :
Angkatan Darat Jepang
Romusha :
Kerja paksa pada masa penjajahan Jepang
Seikerei :
Gerakan membungkuk ke arah barat yang tujuannya adalah menghormat kaisar Jepang
Seinendan :
Barusan Pemuda
Sekatenan :
upacara memperingati hari Maulud Nabi yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal, yakni hari kelahiran Nabi Muhammad, dilaksanakan terutama di Yogyakarta, Surakarta di Jawa Tengah
Silaturahmi :
tradisi saling mengunjungi atau berkunjung kepada saudara, kerabat, atau sahabat agar hubungan kekeluargaan, kekerabatan, dan persahabatan tak terputus
Sinkretisme :
Perpaduan antara dua unsur agama dan kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan praktik agama dan kebudayaan baru tanpa mempertentangkan perbedaan tersebut, malah mempertemukan persamaan antarkeduanya.
Sistem :
Seperangkat unsur yang teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, misalnya sitem pendidikan, system tanam paksa.
Sosialisme :
paham yang menghendaki suatu masyarakat dibentuk secara kolektif (oleh kita, untuk kita); titik berat dari paham ini ada pada masyarakat, bukan individu; dengan demikian sosialisme merupakan lawan dari liberalisme
Stupa :
tempat penyimpanan abu Sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana.
Sudra :
rakyat jelata dalam agama Hindu, juga dikenal sebagai salah satu teori kedatangan agama Hindu ke Indonesia
Suluk :
ajaran tentang ilmu spiritual yang berisi syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapatan; jalan untuk mencapai makrifat dalam ilmu tasawuf atau sufi
Sunan :
berasal dari kata susuhunan, yang artinya yang dipertuan, istilah ini bisa mengacu kepada sultan, anak raja, kerabat, raja, dan pemimpin spiritual, misalnya para Wali di Jawa
Suni :
Salah satu aliran besar dalam Islam yang melanjutkan tradisi kepemimpinan Muawiyah atau Bani Umayyah
Syiah :
Salah satu aliran dalam Islam yang mempertahankan klaim bahwa yang harus memimpin umat adalah keturunan Ali bin Abi Thalib dari Fatimah, puteri Rasulullah Muhammad
Syodanco :
Komandan peleton
Tanah Partikelir :
Tanah milik swasta, nonpemerintah
Politik Terbuka :
Politik yang membuka selebar-lebarnya bagi pihak swasta asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Tonarigumi :
sistem pertahahan sipil buatan Jepang yang bertugas mengawasi penduduk, di kemudian hari dikenal dengan istilah “rumah tangga” atau RT, tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga
Urbanisasi :
Perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa ke kota besar.
Vulkanik :
Memiliki sifat gunung berapi.
Waisya :
kaum pedagang dalam agama Hindu, juga dikenal sebagai salah satu teori kedatangan agama Hindu ke Indonesia
Ziarah :
kunjungan ke kuburan dengan maksud mendoakan orang-orang yang telah meninggal seperti nenek-kakek, ayah-ibu, saudara, atau orang yang dikenal semasa hidupnya
Glosary versi 2 sejarah
Agama :
ajaran/sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Akulturasi :
proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan memengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing ke dalam suatu masyarakat secara selektif sedikit atau banyak unsure kebudayaan asing tersebut sebagian berusaha untuk menolaknya.
Animisme :
kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami semua benda.
Asimilasi :
Proses penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki oleh budaya yang saling berbeda sehingga sifat asli mereka hilang dan muncul budaya yang sudah berkembang (beradab, maju).
Candi :
bangunan kuno yang dibuat dari batu atau bata (sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja, pendeta-pendeta Hindu–Buddha (pada zaman dahulu).
Dakwah :
penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat.
Demografi :
Ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk.
Demokrasi :
gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Ekstern :
bersangkutan dengan hal-hal luar.
Ekonomi :
tata kehidupan perekonomian suatu negara
Filsafat :
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Hipotesis :
sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau mengu-tarakan pendapat.
Hindu :
agama yang berkitab suci Weda
Ideologi :
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Imperialisme :
sistem politik bertujuan untuk menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.
Kebudayaan :
hasil cipta, rasa, karsa, yang dijadikan milik pribadi seseorang melalui proses belajar.
Kolonialisme :
paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.
Kerajaan :
bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja.
Kongsi :
persekutuan dagang.
Liberalisme :
aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur).
Masjid :
bangunan tempat sembahyang orang Islam.
Militer :
tentara; anggota tentara.
Nasionalisme :
paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri.
Peta :
gambar yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai yang menyatakan sifat.
Prasasti :
tulisan pada batu, tembaga, dan sebagainya yang memberitakan tentang sesuatu hal.
Revolusi :
perubahan ketatanegaraan (pemerintahan) yang dilakukan dengan kekerasan.
Sosialisme :
ajaran (paham) kenegaraan dan berekonomi yang berusaha supaya harta, benda, industri, dan perusahaan menjadi milik negara.
Sinkretisme :
percampuran dua budaya asing (khususnya agama), di mana budaya asli menyesuaikan diri dengan budaya asing sehingga muncul budaya baru.
Glosary versi 3 sejarah
Akulturasi
adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih, yang saling bertemu dan saling memengaruhi.
Autentisitas
adalah bersifat autentik.
Babad
adalah kisahan berbahasa Jawa, Bali, atau Sunda yang berisi cerita sejarah.
Borjuis
adalah kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas.
Ekstirpasi
adalah kebijakan Belanda untuk membatasi jumlah tanaman rempah-rempah dengan tujuan memperlancar monopoli tanaman rempah-rempah.
Epigrafi
adalah kajian tentang tulisan kuno pada prasasti.
Fasisme
adalah paham golongan nasionalis ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter.
Fecundation
adalah penyuburan kebudayaan menurut istilah F.D.K. Bosch.
Feodalisme
adalah sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada bangsawan.
Fonetis
adalah bersangkutan dengan bunyi.
Fusi
adalah penggabungan.
Grote Postweg
adalah jalan raya pos antara Anyer–Panarukan sejauh 1.000 km.
Hakko Ichiu
adalah semangat bangsa Jepang untuk menyatukan seluruh wilayah Asia Timur Raya di bawah kekuasaan Jepang.
Hikayat
adalah karya sastra Melayu lama yang berbentuk prosa yang berisi cerita keagamaan, historis, biografi yang dibacakan untuk pelipur lara.
Hipotesis
adalah anggapan dasar yang masuk dan harus dibuktikan kebenarannya.
Historiografi
adalah penulisan sejarah.
Imperialisme
adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.
Indirect rule
adalah pemerintahan secara tidak langsung, dengan menggunakan kekuasaan penguasa lokal.
Intensif
adalah melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan terusmenerus sehingga memperoleh hasil yang optimal.
Interaksi
adalah saling berhubungan.
Interpretasi
adalah pendapat atau tafsiran.
Intervensi
adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak.
Kakawin
adalah jenis puisi Jawa Kuno.
Kapitulasi
adalah penyerahan kekuasaan sebagai akibat kekalahan dalam peperangan kepada pihak pemenang.
Klan
adalah kelompok kekerabatan yang besar.
Komoditas
adalah barang dagangan utama.
Kongsi
adalah persekutuan dagang.
Landrente
adalah pajak tanah.
Liberalisme
adalah aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi.
Manifesto
adalah pernyataan terbuka.
Mare liberium
adalah laut bebas.
Maritim
adalah berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan laut.
Merkantilisme
adalah paham yang berpendapat bahwa kemakmuran suatu bangsa dapat bertambah dengan lebih banyak mengekspor daripada mengimpor barang, sehingga neraca perdagangan menguntungkan bagi negara.
Mite
adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah yang banyak mengandung hal-hal ajaib.
Mitologi
adalah bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.
Mobilisasi
adalah pergerakan tenaga manusia untuk dijadikan tentara.
Moderat
adalah menghindari perilaku yang bersifat ekstrem.
Ongkek
adalah sesaji dari hasil pertanian.
Pakraman
adalah sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam tradisi India.
Paternalistik
adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Plural
adalah jamak, lebih dari satu.
Poten
adalah sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasadha.
Prasasti persumpahan
adalah prasasti yang memuat kata persumpahan yang dikeluarkan oleh raja Sriwijaya.
Primordialisme
adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
Propaganda
adalah penjelasan yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan seseorang agar menganut aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Pujangga
adalah pengarang hasil-hasil sastra.
Radikal
adalah kemajuan dalam berpikir dan bertindak untuk menuntut perubahan.
Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala kebenaran adalah pikiran manusia.
Reconguesta
adalah semangat menaklukkan kekuasaan Islam di mana pun pusat perkembangan Islam berada, sebagai upaya pembalasan.
Renaisans
adalah kebangkitan kembali hasrat manusia yang selama abad pertengahan terbelenggu.
Ritual
adalah berkenaan dengan tata cara dalam upacara keagamaan.
Romusha
adalah pekerja paksa pada zaman Jepang.
Tarekat
adalah persekutuan para penganut ilmu tasawuf.
Tetenger
adalah penanda atau pengingat.
Verplichte leveranties
adalah penyerahan wajib.
Volksraad
adalah Dewan Perwakilan Rakyat pada masa penjajahan Belanda.
Wangsakerta
adalah pendiri keluarga raja.
Waprakeswara
adalah tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa.
Wratyastoma
adalah pelaksanaan upacara pemberkatan bagi seseorang yang akan memeluk agama Hindu.
Glosary versi 4 sejarah
absolutisme :
bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa
akulturasi :
proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam masyarakat, sebagian menyerap secara selektif dan sebagian berusaha menolak
animisme :
kepercayaan pada roh yang mendiami semua benda
autokrasi :
bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak pada diri seseorang
borjuis :
kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas (biasanya dipertentangkan dengan rakyat jelata)
desentralisasi :
sistem pemerintah yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah
dinamisme :
kepercayaan bahw segala sesuatu memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seseorang
dinasti :
keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga
doktrin :
ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan, secara bersistem, khususnya dalam penyusunan kebijakan negara
dominasi :
penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (misalnya, dalam bidang politik, militer, ekonomi, olahraga, atau perdagangan)
ekspedisi :
pengiriman barang
feonalisme :
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan
fikih :
ilmu tentang hukum Islam
imperialis :
negara yang menjalankan politik menjajah negara lain; negara yang memperluas daerah jajahannya untuk kepentingan industri dan modal
jirah :
batu kubur, nisan
kaligrafi :
seni menulis indah huruf Arab dengan pena
koalisi :
kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen
konspirasi :
persengkongkolan, komplotan
kooperasi :
bersedia bekerja sama dengan penjajah
makara :
binatang dalam cerita yang bersifat mitologis dengan rupa mengerikan, yang dipakai sebagai motif hiasan, umumnya terdapat pada candi dan arca zaman dahulu
mihrab :
ruang kecil di langgar atau masjid tempat imam berdiri waktu salat berjamaah
mimbar :
panggung kecil tempat berkhotbah
monarki :
bentuk pemerintahan yang dikuasai oleh raja
monarki absolut :
bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja
ortodoks :
berpegang teguh pada aturan dan ajaran resmi, misalnya dalam agama
prasasti :
piagam yang tertulis pada batu atau tembaga
pripih :
azimat
proletar :
orang dari golongan lapisan sosial paling bawah
propaganda :
paham, pendapat yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan, menyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap atau arah tindakan tertentu
resolusi :
putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapi oleh rapat
rodi :
kewajiban bekerja (seperti memperbaiki jalan) tidak dengan upah
romusa :
orang-orang yang dipaksa bekerja berat pada zaman pendudukan Jepang
silsilah :
asal-susul keluarga berupa bagan; catatan yang menggambarkan hubungan keluarga sampai beberapa generasi
sinkretisme :
paham baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian
sporadis :
tidak tentu, kadang-kadang
tabib :
orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara tradisional, seperti dukun
wangsa :
keturunan raja; keluarga raja
tasawuf :
acara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya
torpedo :
senjata peledak berbentuk cerutu besar diluncurkan dari kapal perang dan pesawat terbang untuk menenggelamkan kapal musuh

Abris sous roche : gua sebagai tempat tinggal manusia purba.
A cire perdue : suatu teknik cetak hilang pada zaman prasejarah.
Akulturasi : proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan mempengaruhi.
Alluvium : zaman geologi yang paling muda dari zaman kuarter atau zaman geologi yang sekarang.
Artefak : alat-alat yang digunakan manusia purba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Asimilasi : penyesuaian (peleburan) sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sidat-sifat lingkungan sekitar.
Barter : perdagangan dengan saling menukar barang.
Bivalve : suatu teknik cetak ulang pada zaman prasejarah.
Candi : bangunan kuno yang dibuat dari batu (sebagai tempat pemujaan) penyimpanan abu jenazah raja-raja atau pendeta Hindu atau Budha pada zaman dahulu.
Candrasengkala : bilangan tahun berupa kalimat atau gambar.
Dewa : roh yang di angan-angankan sebagai manusia halus yang berkuasa atas alam dan manusia.
Dilluvium : suatu zaman di mana hampir seluruh permukaan bumi tertutup oleh es.
Dinasti : keturunan raja-raja yang memerintah dari satu keluarga.
Dolmen : meja batu yang digunakan untuk meletakkan sesaji masa prasejarah.
Fosil : sisa-sisa kehidupan masa lampau yang diketemukan dalam keadaan membatu di lapisan tanah.
Fosil pandu : fosil yang dapat memberi petunjuk tentang kehidupan zaman purba.
Homo africanus : jenis manusia purba dari Afrika.
Homo neandherthalensis : jenis manusia purba dari lembah Neandher Jerman Barat.
Homo pekinensis : jenis manusia purba dari Peking Cina.
Homo sapiens : jenis manusia purba yang cerdas.
Jalan sutera : jalan yang di tempuh para pedagang yang membawa dagangan sutera dari Cina yang akan dikirim ke Eropa melalui jalur darat Asia Tengah.
Kapak corong : kapak perunggu berbentuk corong yang digunakan manusia prasejarah.
Kapak genggam : alat batu yang dipangkas pada ke-2 permukaannya.
Kapak perimbas : alat batu yang dipangkas pada salah satu permukaannya untuk memperoleh ketajaman.
Kasta : golongan (tingkat/derajat) manusia dalam masyarakat hindu.
Kebudayaan : hasil kegiatan dan penciptaan batin atau akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.
Kepercayaan : anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar-benar atau nyata.
Kerajaan : bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja.
Keraton : tempat kediaman ratu/raja.
Kjokkenmoddinger : sampah dapur masa prasejarah.
Kubur batu : lempengan-pempengan batu yang digunakan untuk menyimpan mayat pada masa prasejarah.
Kuil : rumah (gedung) tempat memuja dewa-dewa.

Manusia purba : manusia fosil.
Masyarakat : sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Meganthropus palaeojavanicus : manusia besar tertua dari Jawa.
Menhir : tugu batu besar zaman prasejarah.
Moko : genderang kecil terbuat dari perunggu pada masa prasejarah.
Musafir : orang yang bepergian meninggalkan negerinya selama 3 hari atau lebih (mengembara).

Nabi : orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.
Negara agraris : negara yang bersifat pertanian.
Negara agromaritim : negara yang bersifat pertanian dan kepulauan.
Nekara : genderang besar terbuat dari perunggu pada masa prasejarah.
Nenek moyang : leluhur.
Nirleka : zaman tidak ada tulisan.
Nisan : tonggak pendek dan sebagainya yang ditanam di atas kubur sebagai penanda.
Nomaden : kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari suatu tempat ke tempat lain.

Obelisk : tiang segi empat meruncing ke ujung dan bermahkota piramida.

Pangeran : gelar anak raja atau gelar orang besar dalam kerajaan (keluarga raja).
Pelabuhan transito : pelabuhan yang menjadi lintasan barang-barang dagngan antara dua negara atau dua tempat.
Pelayaran : segala sesutu yang menyangkut perihal berlayar.
Pengaruh : daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.
Peradaban : kemajuan yang menyangkut kecerdasan dan kebudayaan lahir batin.
Perdagangan : urusan dagang atau perniagaan.
Perahu bercadik : perahu yang menggunakan bambu atau kayu yang dipasang di kiri kanannya serupa sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.
Peta : gambar atau lukisan pada kertas dan sebagainya untuk menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung dan sebagainya.
Piramida : bangunan dari batu yang berbentuk limasa tempat menyimpan mummi raja-raja Mesir dahulu.
Pithecanthropus erectus : manusia kera yang berjalan tegak.
Pithecanthropus mojokertensis : janis manusia purba yang sama artinya dengan Pithecanthropus Robustus.
Pithecanthropus Robustus : manusia sejenis Pithecanthropus erectus yang masih kanak-kanak yang ditemukan di Mojokerto.
Polis : negara kota pada zaman Yunni dan Romawi kuno.
Prasasti : piagam yang tertulis pada batu, tembaga dan sebagainya.
Proses : runtunan perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu :
Punden berundak : susunan batu berundak-undak pada masa prasejarah.

Raja : penguasa tertinggi pada suatu kerajaan.
Rekonstruksi : penyusunan atau penggambaran kembali.
Relief : pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya.
Rempah-rempah : zat yang digunakan untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan.

Sarkofagus : kubur batu berbentuk lesung pada masa prasejarah.
Sistem : perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Sphink : patung singa berkepala manusia yang ada di Mesir Kuno.
Strategis : berhubungan dengan rencana yang cwermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.
Suluk : jalan ke arah kesempurnaan batin.
Sunan : penyebutan nama untuk para wali.
Ulama: orang yang ahli dalam hal pengetahuan agama Islam.
Undagi : ahli dalam ketrampilan berproduksi.
Waprakeswara :sebutan tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa yang terdapat dalam prasasti di Kerajaan Kutai.

Wali : orang saleh (suci) penyebar agama.
Waruga : kubur batu berbentuk kubus pada masa prasejarah.
Yupa : tugu batu bertulis yang terdapat di Kerajaan Kutai.
Zaman batu : suatu zaman di mana semua peralatan hidup manusia dibuat dari batu.
Zaman logam : suatu zaman di mana semua peralatan hidup manusia dibuat dari logam.
Zaman prasejarah : zaman pada saat manusia belum mengenal tulisan.
Zaman sejarah : zaman pada saat manusia sudah mengenal tulisan.


KOLONIALISME, IMPERIALISME, MERKANTILISME, KAPITALISME, dan REVOLUSI INDUSTRI

A. KOLONIALISME
Persamaan dan Perbedaan Kolonialisme dan Imperialisme
Persamaan dari kolonialisme dan imperialisme adalah
keduanya merupakan penjajahan atau penguasaan terhadap suatu daerah atau suatu bangsa oleh bangsa lainnya.
Perbedaan dari kolonialisme dan imperialisme dilihat dari :
a. Asal Kata
  • Kolonialisme berasal dari kata colonia dalam bahasa latin yang artinya tanah permukiman/ jajahan.
  • Imperialisme berasal dari kata imperator yang artinya memerintah. Atau dari kata imperium yang artinya kerajaan besar dengan memiliki daerah jajahan yang amat luar.
b. Pengertian
§   Kolonialisme adalah suatu sistem dimana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negeri asal.
§   Imperialisme adalah suatu sistem penjajahan langsung dari suatu negara terhadap negara lainnya.
c. Tujuan Penguasaan Wilayah
oKolonialisme tujuannya untuk menguras sumber-sumber kekayaan daerah koloni demi perkembangan industri dan memenuhi kekayaan negara yang melaksanakan politik kolonial tersebut.
oImperialisme, melakukan penjajahan dengan cara membentuk pemerintahan jajahan dan dengan menanamkan pengaruh pada semua bidang kehidupan di daerah jajahan.
B. IMPERIALISME
Berdasarkan waktu munculnya imperialisme dibagi menjadi 2 yaitu: imperialisme kuno, dan imperialisme modern. Adapun perbedaan dari Imperialisme kuno dan imperialisme modern adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya
  • Imperialisme Kuno terjadi sebelum revolusi industri
  • Imperialisme Modern terjadi setelah revolusi industri
b. Segi Kepentingan
  • Imperialisme Kuno, adanya dorongan untuk kepentingan mencari tanah jajahan karena keinginan mencapai kejayaan (glory),memiliki kekayaan (gold), menyebarkan agama (gospel).
  • Imperialisme Modern, adanya dorongan kepentingan ekonomi, keinginan negara penjajah mengembangkan perekonomiannya dan untuk memenuhi kebutuhan industri dimana negara jajahan sebagai sumber penghasil bahan mentah dan tempat pemasaran hasil industri.
c. Contoh negara yang menganut
  • Imperialisme Kuno : Portugis, Spanyol, Romawi
  • Imperialisme Modern : Inggris, Perancis, belanda, Jerman, dan Italia.
Akibat adanya imperialisme :
v     Berkembang penanaman modal di daerah jajahan oleh kaum partikelir/swasta
v     Perdagangan dunia semakin meluas
v     Negara jajahan semakin miskin
v     Rakyat jajahan serta kekurangan karena rakyat dibebankan berbagai macam kewajiban tanpa memiliki hak
v     Kebudayaan penduduk asli digeser dan dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Eropa.
Kolonialisme Barat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa-peristiwa di Eropa pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-13. Dan perubahan-perubahan di Eropa membawa pengaruh terhadap dunia timur. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya reformasi Gereja (abad 16-17), Gerakan Merkantilisme, Revolusi Perancis(1789), Revolusi Industri(1780).
C. MERKANTILISME
Pengertian :
Paham yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah secara ketat dan menyeluruh dalam kehidupan perekonomian guna memupuk kekayaan logam mulia sebanyak-banyakanya sebagai standard dan ukuran kekayaan yang dimiliki, kesejahteraan dan kekuasaan Negara tersebut.
Latar Belakang :
Munculnya Negara-negara merdeka di Eropa (Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Belanda)
Negara tersebut ingin mempertahankan kedaulatan, kebebasan, dan kesejahteraan rakyatnya.
Diperlukan kondisi perekonomian yang kuat agar tetap mampu bertahan.
Ditetapkan logam mulia sebagai standart ukuran kekayaan suatu Negara.
Dibuka jaringan perdagangan, diadakan pelayaran serta eksplorasi ke wilayah-wilayah baru.

Kebijakan Pelaksanaan dan Perencanaan Ekonomi Merkantilisme :
Ø      Berusaha mendapatkan logam mulia sebanyak-banyaknya
Ø      Meningkatkan perdagangan luar negeri
Ø      Mengembangkan industri berorientasi ekspor
Ø      Meningkatkan pertambahan penduduk sebagai tenaga kerja industri
Ø      Melibatkan Negara sebagai pengawas perekonomian
Ø      Melakukan perlindungan barang dagangan dengan menggunakan bea masuk yang sangat tinggi.
Ø      Meminta bayaran tunai dalam bentuk emas jika suatu Negara mengekspor lebih dari Negara lain.

D. REVOLUSI INDUSTRI
Pengertian :
Perubahan radiakal struktur masyarakat agraris ke industri serta perubahan penggunaan sarana produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin.

Tahapan perkembangan menuju Revolusi Industri :
  1. Industri Rumah Tangga (home industry)
Produksi barang dilakukan di dalam rumah tangga dan bersifat musiman. Proses produksi dilakukan secara manual dan tidak terspesialisasi.
Pekerja ; anggota keluarga sendiri dan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri.
  1. Industri Manufaktur
Tersedia tempat kerja untuk kurang lebih 10 orang pekerja di halaman belakang rumah dan dibagian depan dibangun toko untuk menjual hasil industri. Muncul Gilda dan Tengkulak.
  1. Industri Pabrik
Telah mengenal pabrik dengan teknologi mesin industri. Mulai digunakan system ban berjalan. Buruh hanya bekerja membuat hasil industri penjualan diserahkan pada bagian pemasaran.
Latar Belakang Munculnya Revolusi Industri :
  1. Berkembangnya tata kehidupan agraris yang bercorak feodal
  2. Meletusnya Perang Salib (1096-1291) yang menghubungkan antara Negara Eropa dan dunia Timur yang menyebabkan terjalin hubungan dagang antar keduanya.
  3. Munculnya kota-kota dagang di Eropa seperti Florence, Venesia, Genoa, yang diikuti dengan munculnya usaha-usaha industri kecil atau industri Rumah Tangga. Muncul Gilda dan Hnasa
  4. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar.

Akibat Revolusi Industri :
  1. Barang-barang konsumsi menjadi berlimpah dan dapat dibeli dengan harga murah sebab dengan mesin industri barang-barang dapat tercetak dengan mudah sehingga harganya lebih murah.
  2. Terjadi urbanisasi karena munculnya kota-kota industri sehingga banyak orang yang bekerja di pabrik dengan upah yang minimum,banyak pengangguran dan kemiskinan sehingga menimbulkan banyak kerusuhan.
  3. Upah kerja yang rendah dengan waktu kerja yang panjang, pemakaian tenaga wanita dan anak-anak, serta fasilitas kerja yang buruk. Hal ini menyebabkan terjadi pemogokan yang disertai kerusuhan dan perusakan.
  4. Terjadinya jurang pemisah antara pengusaha dengan buruh/ pekerja. Dimana pengusaha semakin kaya, sedangkan buruh semakin miskin (terjadi ketimpangan ekonomi)
  5. Hasil industri semakin melimpah sehingga pasar semakin luas. Lalu lintas barang berjalan cepat. Transportasi berkembang pesat baik di darat, laut, maupun udara.
  6. Diperlukan daerah-daerah untuk pemasaran, investasi dan pemasokan bahan mentah bagi industri-industri bangsa-bangsa Eropa untuk melindungi kegiatan ekonominya. Sehingga mulailah kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa.
Revolusi Sosial
Merupakan proses perubahan struktur social masyarakat kea rah yang lebih baik dan berlangsung secara radikal.
Faktor pendukungnya adalah sebagai berikut :
  1. Urbanisasi besar-besaran ke kota-kota industri sedang perumahan tidak mampu menampung mereka
  2. Kondisi kehidupan kaum buruh yang sangat buruk
  3. Perbedaan tingkat kehidupan kaum kaya dan miskin yang sangat mencolok.
Timbulnya berbagai macam tuntutan perubahan menyebabkan muncul sejumlah undang-undang yang dikeluarkan pemerintah Inggris.

E. KAPITALISME
Pengertian :
Kapitalisme adalah sebuah system ekonomi dimana individu secara privat melakukan kegiatan produksi, pertukaran barang, dan jasa pelayanan melalui sebuah jaringan pasar dan harga yang kompleks
Kapitalisme menurut Karl Marx, adalah sebuah sistem dimana pemilik modal menjadi penentu dari seluruh kebijakan pasar dan harga barang dengan meminimalisir kerugian dan memaksimalkan keuntungan.

Pada abad 18 saat berkembang revolusi industri banyak muncul para pemilik modal yang menguasai peralatan industri, mempekerjakan manusia untuk menjalankan mesin.

Tujuan kapitalisme adalah biaya produksi yang murah dan keuntungan yang tinggi.

Ciri-ciri Kapitalisme :
1.      Modal dan barang-barang yang digunakan sebagai proses produksi dimiliki secara pribadi.
2.      Aktivitas ekonomi secara bebas hanya ditentukan oleh penjualan dan pembelian
3.      Pemilik modal bebas untuk menggunakan cara apa saja untuk meningkatkan keuntungan maksimalnya dengan mendayagunakan sumber daya produksi dan pekerjaannya.
4.      Pengawasan Negara diupayakan seminimal mungkin, Negara sewaktu-waktu dapat mengeluarkan kebijakan yang melindungi lancarnya pelaksanaan dari system kapitalisme

F. Keterkaitan Merkantilisme, Kapitalisme, dan Revolusi Industri
Merkantilisme terjadi ditujukan untuk kepentingan mengembangkan industri di Negara-negara Eropa dimana saat itu Negara-negaraEropa khususnya Inggris sedang mengembangkan Revolusi industri dimana untuk melaksanakan revolusi Industri tersebut bahan baku industri dibutuhkan diusahakan dibeli dengan harga yang semurah-murahnya dan mendapatkan yang sebanyak-banyaknya sehingga dilaksanakan merkantilisme.
Munculnya revolusi Industri membuka peluang bagi para pemilik modal untuk membuka dan memdirikan industri. Mereka semakin berlomba-lomba menanamkan modalnya. Hal ini menyebabkan munculnya kapitalisme, dimana setiap individu yang mempunyai modal mempunyai hak penuh untuk menentukan kegiatan produksinya.

KAPITALISME, IMPERIALISME DAN NEOLIBERALISME

KAPITALISME
Kapitalisme adalah sebuah sistem produksi komoditi (dagangan), dimana alat-alat produksi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal (kapitalis), sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, menjual tenaganya kepada para pemilik modal.
Skema sistem produksi kapitalisme adalah:
U – K – U+, U+ = U + n
U = uang
K = komoditi
n = nilai lebih
Uang tidak akan pernah menjadi modal jika siklus pertukaran komoditinya K – U – K. Siklus semacam itu bukanlah kapitalisme, namun hanya seperti orang menjual radio untuk makan, dimana uang hanya menjadi alat sirkulasi atau alat pertukaran dan perantara. Uang akan menjadi modal ketika dipergunakan untuk menghisap tenaga kerja buruh, membeli alat-alat produksi — barang-barang mentah — dan membeli tenaga kerja buruh untuk produksi.

NILAI LEBIH

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan?
Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan).
Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di Jakarta misalnya) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabannya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnya di pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat?
Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.
Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter kain (1 kain @ 3 meter). Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, solar, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakaian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.
Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 300.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 280.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama 32 menit dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja selama 32 menit untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam 28 menit untuk pengusaha (280.000).
Krisis Kapitalisme
Pertentangan mendasar dalam sistem kapitalisme adalah: bahwa produksi sifatnya sosial, produksi massal dan dikonsumsi orang banyak. Sementara kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan hasil produksinya sifatnya pribadi. Produksi terus-menerus mengalami spesialisasi, cabang-cabang produksi berkembang, perusahaan-perusahaan meningkat (yang terus menyerap tenaga kerja buruh dalam jumlah besar), bahkan kini berkaitan dengan pasar nasional dan internasional. Makin membesarnya konsentrasi buruh ini memberikan kapitalisme watak sosialnya.
Sementara, ribuan alat-alat produksi yang dioperasikan oleh ratusan juta kaum buruh, dan produk yang dihasilkannya menjadi milik pribadi kapitalis. Pertentangan tersebut yang terus-menerus menyebabkan krisis kelebihan produksi. Komoditi diproduksi terus-menerus tanpa batas, tanpa perencanaan, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Produksi diperluas tanpa mempertimbangkan kebutuhan, hingga akhirnya karena daya beli menurun, hasil produksi tersebut tidak terjual. Barang menumpuk di gudang-gudang, PHK besar-besaran, nilai mata uang ambruk, inflasi dan sebagainya.
Krisis kapitalisme beberapa kali terjadi secara periodik. Krisis pertama terjadi di Inggris pada tahun 1825. Pada tahun 1847-48 krisis menyapu seluruh AS dan beberapa negeri di Eropa. Paling serius terjadi di abad 19 adalah pada tahun 1873, yang kemudian mendorong peralihan kapitalisme dari pra-monopoli ke monopoli.
Kelahiran Kapitalisme
Beberapa abad lalu, umat manusia pernah mengenal sistem feodalisme, yakni sebuah sistem produksi dimana alat-alat produksi dimiliki oleh para tuan tanah, bangsawan dan raja. Sementara kaum yang bekerja, berproduksi, disebut dengan hamba, yang sebagian besar adalah petani. Bentuk penindasan terhadap kaum hamba ini berupa kerja wajib. Seorang hamba mengerjakan milik tuan tanah, dan kemudian sebagian (besar) hasil produksinya diserahkan kepada mereka. Bedanya dengan kapitalisme adalah: surplus produk yang dirampas oleh para tuan tanah tersebut tidak dijual untuk profit, melainkan untuk dihambur-hamburkan; untuk memenuhi gelimang kemewahan mereka. Demikian pula bagi produsen, hasil produk tidaklah untuk dijual tapi dipakai untuk kebutuhan sendiri. Penyebabnya adalah kekuatan produktif (teknologi, alat-alat produksi, keahlian, dan sebagainya) sangat rendah sehingga produktivitasnya pun rendah. Sistem produksi seperti ini dialami oleh sebagian besar negara di Eropa, dan beberapa negeri Asia.
Nusantara (kemudian disebut Indonesia) memiliki ciri yang berbeda. Pertama, di Eropa sebagian besar tanah dimiliki oleh para tuan tanah dan bangsawan lokal, bukan oleh raja. Mereka lantas memberikan upeti kepada para raja. Maka, tidak heran jika kebanyakan perebutan kekuasaan feodal berasal dari para tuan tanah dan bangsawan lokal (baron). Sementara di Nusantara, tanah sebagian besar dimiliki oleh raja. Para bangsawan lokal hanya merupakan perpanjangan tangan raja. Maka, perebutan kekuasaan yang kerap terjadi bukan dilakukan oleh para bengsawan lokal, melainkan kalangan keluarga kerajaan; atau perang dengan kerajaan lain. Kedua, para petani bekerja dengan kerja wajib. Yakni kerja yang diberikan kepada para bangsawan dan raja, baik di dalam lingkup rumah tangga sang bangsawan atau raja, maupun di tanah-tanah para bangsawan. Sebagai imbalan atas pengabdiannya sekian lama, kemudian sang majikan “memberi” tanah untuk diolah guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Di samping sistem produksi feodal yang merupakan sistem paling dominan, telah berkembang pula sistem produksi lain yakni kerajinan dan perdagangan, yang masih menjadi obyek wewenang para bangsawan. Artinya, bangsawan memegang kontrol terhadap aktivitas ekonomi lain secara tidak langsung — para pemilik kerajinan dan pedagang harus membayar upeti, pajak dan sebagainya–.
Terjadilah perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam sistem feudal ini. Teknik-teknik produksi diperbaiki, alat-alat kerja besi dan baja mulai diperkenalkan secara intensif, alat-alat kerja kerajinan dan metode pemrosesan bahan mentah mengalami perbaikan (mulai menggunakan perapian, dan sebagainya) dan kerajinan pun mulai terspesialisasi. Gejala tersebut merebak sekitar abad 15.
Seiring dengan pesatnya perkembangan perdagangan dan kota-kota, pedesaan pun lantas terseret masuk dalam ekonomi uang. Metode produksinya berubah menjadi sewa tanah dengan uang, bukan dengan kerja. Hal ini terjadi lantaran para tuan tanah membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan mewahnya. Eksploitasi feodalisme menjadi semakin intensif dengan berkembangnya sistem sewa uang.
Di sektor perdagangan, dengan ditemukannya benua-benua baru (Afrika, Amerika Latin, dan Asia) untuk pasar dan perampasan bahan-bahan mentah, mendorong produksi kerajinan semakin berkembang. Skala operasi produksi meluas karena meluasnya permintaan pasar. Ada satu gejala penting berkaitan dengan perkembangan perdagangan, yakni para pedagang mulai memegang kontrol terhadap produksi kerajinan dan pertanian. Mulanya, para pedagang hanya sebagai perantara dalam pertukaran komoditi, tetapi karena menguasai pasar dan bahan mentah, mereka kemudian menjadi dominan. Mereka telah menjadi pembeli sistematis dari para produsen, baik pertanian maupun kerajinan. Juga menjadi pernyuplai bahan-bahan mentah, dan tentunya uang. Dalam keadaan seperti itu, para produsen secara ekonomi menjadi tergantung. Pada tahap berikutnya, para pedagang ikut “memaksa” kerajinan tangan untuk mengubah dirinya menjadi bengkel-bengkel yang bukan lagi mempekerjakan sedikit perajin, tetapi buruh upahan dalam jumlah yang besar. Modal dagang berubah menjadi modal industri.
Di pedesaan, masuknya uang jugalah yang membelah petani ke dalam borjuasi desa (pemilik modal) yang kaya dan petani miskin.
Sistem produksi kapitalis menjadi eksis dalam feodalisme di kota dan desa. Karena sifat feodalisme menghambat perkembangan sistem produksi kapitalis, dengan sendirinya feodalisme ini pun tumbang. Di desa, perkembangan ekonomi uang telah bertabrakan dengan sistem sewa uang, yang tentunya menghambat kemajuan perluasan modal para borjuasi desa. Sementara, industri-industri di kota, di satu sisi, menghadapi persoalan kekuasaan feodal dengan upeti, dan pajak yang tinggi. Di sudut lain, borjuasi atau kapitalis kota menghadapi masalah tenaga kerja buruh, yang tentunya harus didapat dari desa, yang berada di bawah kontrol kekuasaan feodal. Dalam situasi seperti itu maka kehancuran feodalisme adalah sebuah keharusan sejarah. Sebagai hasil dari perjuangan kelas yang tanpa ampun antara borjuasi dan petani melawan tuan-tuan bangsawan. Pemberontakan-pemberontakan petani telah meluluh lantakkan fondasi sistem feodal dan menyeretnya ke jurang kehancuran. Borjuasi, desa dan kota, memimpin perlawanan perjuangan anti-feodal dan memanfaatkan pemberontakan-pemberontakan tersebut untuk menghantarkannya menjadi kelas penguasa, secara ekonomi dan politik.
Contoh perjuangan kelas yang tuntas terjadi di Perancis pada akhir abad 1789. Sementara di Inggris lebih banyak terjadi proses pelemahan-pelemahan kekuasaan feodal yang terus-menerus, dengan cara perlahan.
Di Indonesia (Hindia Belanda tepatnya, karena belum ada sebutan Indonesia saat itu), berkembangnya kapitalisme bukan melalui perjuangan yang “tuntas” antara kelas borjuasi melawan feodalisme — walaupun pada kenyataannya kapitalisme harus menyingkirkan seteru utamanya, para priyayi — tapi lebih karena dicangkokkan oleh kolonialisme. Kemajuan tenaga-tenaga produktif — yang merupakan dasar dari perkembangan kapitalisme dan pertentangan kelas antara borjuasi dan bangsawan — bukan berasal dari hasil penemuan-penemuan “dalam negeri”, hasil kemajuan teknologi dari rahim Nusantara, tapi dibawa oleh kolonialisme. Hingga akhir abad 19, setelah selesai tanam paksa banyak dibangun pabrik gula (terutama di Jawa), kereta api mulai diperkenalkan dan modal-modal asing di pertanian berebut masuk. Gejala tersebutlah yang telah menghancurkan tatanan lama “feodalisme Nusantara”. Satu perubahan penting — yang merupakan indikasi dari perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda — adalah pendirian pabrik-pabrik gula, telah menciptakan satu kelas baru, yakni buruh yang berasal dari petani yang kehilangan tanahnya akibat perluasan perkebunan tebu.
Perkembangan Kapitalisme
Salah satu basis dari perkembangan kapitalisme pada akhir abad 18, di samping dengan menghancurkan tatanan feodalisme, adalah revolusi industri — sebuah nama yang diberikan oleh Engels terhadap proses transisi ketika Inggris menjadi negeri kapitalis pada akhir abad 18. Pada masa itu, Inggris dan juga Eropa, mengalami perubahan-perubahan cepat di bidang teknologi. Penemuan-penemuan penting telah terjadi, dari mesin uap, mesin transportasi dan terutama penemuan mesin-mesin di cabang industri tekstil. Hasilnya, teknik-teknik pemintalan dan penenunan pun berubah secara radikal. Industri tekstil tidak lagi mempekerjakan beberapa perajin yang hanya menggunakan alat-alat jahit sederhana, tetapi alat modern yang menyedot ratusan buruh. Produktivitas pun jauh melonjak dibanding sebelumnya. Demikian halnya dengan mesin uap yang sangat berpengaruh pada kemampuan produksi, industri tidak lagi tergantung pada suplai air dari sungai, tetapi dengan mesin yang dapat menjadi bank air. Transpotasi telah membuat jarak antar kota dan desa semakin dekat dan mudah ditempuh.
Dalam situasi seperti ini, konsentrasi produksi adalah suatu yang tak terelakkan. Cara-cara produksi kerajinan telah tersingkirkan, bangkrut karena tidak mampu bersaing bahkan ditelan oleh industri-industri manufaktur besar. Cabang-cabang produksi yang pada sistem produksi kerajinan terpisah-pisah kini telah disatukan dalam pabrik-pabrik besar. Kelas buruh, satu kelas baru yang pada masa berikutnya menjadi seteru penguasa baru, telah muncul. Inilah satu hal yang terpenting dari perkembangan kapitalisme bersamaan dengan perkembangan revolusi industri. Kapitalisme telah menghancurkan feodalisme; ia telah meniadakan pertentangan yang tak kenal ampun antara borjuasi dengan bangsawan. Namun, bukan berarti pertentangan sudah tidak ada lagi, justru muncul yang baru, pertentangan antara kelas buruh dan borjuasi.
Pada awal abad 19 terjadi beberapa kali perlawanan kelas buruh yang diarahkan terhadap mesin-mesin produksi. Mereka menilai, mesin itulah penyebab dari segala penindasan. Perlawanan terbesar terjadi pada tahun 1815 di Inggris. Gerakan meluas ke seluruh pusat industri, secara terorganisir (dalam sejarah kemudian dikenal dengan gerakan Luddites). Dengan cepat, kelas penguasa melibas gerakan tersebut, beberapa pemimpin buruh ditangkap dan sebagian lainnya dihukum mati.
Dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan perubahan politik dan ekonomi, pada tahun 1817 gerakan berubah menjadi revolusioner, dengan tuntutan diantaranya adalah kebebasan berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Dua tahun berikutnya, gerakan yang telah mengalami kulminasinya dipukul kembali, kemudian dikenal dengan “Manchester Massacre 1819″.
Titik puncak gerakan buruh terjadi pada awal abad 20, ketika kaum buruh Rusia merebut kekuasaan politik dari tangan borjuasi pada bulan Nopember 1917.
Di Indonesia, gerakan buruh dimulai di permulaan abad 20, yang pada masa awal dipimpin oleh faksi radikal dari Serikat Islam. Tentu, gerakan buruh yang tumbuhnya seiring dengan maraknya organisasi-organisasi modern tersebut memiliki nuansa yang berbeda dengan Eropa. Ia tidak hanya melawan penindasan ekonomi kapitalisme, tetapi juga kolonialisme.
IMPERIALISME
Sepanjang pertengahan akhir abad 19 kapitalisme memasuki tahap yang tertinggi. Dengan cirinya yang utama adalah: dalam tahap ini kapitalisme telah menyingkirkan “semangat kompetisi bebas” — yang selalu diusung-usung sebagai pembenaran atas penghisapan — dengan monopoli. Tenaga-tenaga produktif mengalami perkembangan pesat, metode-metode baru dalam produksi diperkenalkan, terutama metode pengolahan baja dan besi. Masih dalam periode yang sama, penemuan-penemuan penting lain terjadi, seperti dinamo, mesin uap, turbin dan sebagainya. Perkembangan industri dan transportasi pun makin cepat karenanya.
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh ciri-ciri dasar sebagai berikut: 1) konsentrasi produksi dan modal; 2) fusi, merger atau penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki financial; 3) ekspor modal; 4) terbentuknya perusahaan-perusahaan monopoli internasional yang membagi-bagi dunia ke dalam genggamannya.
Konsentrasi Produksi dan Monopoli
Dalam kapitalisme lama, satu komoditi yang sama dijual oleh kapitalis yang berbeda. Sehingga, membuat sebagian kapitalis menjadi semakin kaya sementara yang lainnya jatuh karena persaingan. Kompetisi bebas tersebut melahirkan konsentrasi produksi dalam perusahaan-perusahaan besar, yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan buruh.
Sebagai contoh, di Jerman pada tahun 1882, prosentase jumlah perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh sebesar 22 %, tahun 1895 sebesar 30 %, 1907 sebesar 37 %, tahun 1925 sebesar 47,2 %, tahun 1939 sebesar 49, 2%. Pada tahun 1955, di Jerman Barat jumlah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh, sebesar 87,1 %. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi produksi dan modal di Jerman. Di negeri lain, AS misalnya, hingga tahun 1904 prosentase jumlah perusahaan-perusahaan besar yang output tahunannya mencapai satu juta US dollar atau lebih, sebesar 0,9 %. Dalam perkembangannya, mereka kemudian mempekerjakan 25, 6 % dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 38 % out put AS. Dalam tahun 1939, perusahaan-perusahaan besar AS, yang prosentase jumlahnya 5,2 % dari seluruh industri AS, telah mempekerjakan 55 % dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 67,5 out put industrial. Tahun 1955, 500 perusahaan-perusahaan industri memproduksi setengah dari seluruh jumlah out put industri dan memperoleh 68 % dari seluruh jumlah keuntungan. Dari 500 perusahaan-perusahaan tersebut, 50-nya membangun 0,05 % dari seluruh jumlah out put dalam industrial proses – atau hampir seperempatnya (Nikitin: 1963).
Sekarang, tentunya prosentase tersebut telah beratus-ratus kali lipat. Disamping terkonsentrasi, modal juga menjadi tersentralisasi. Yakni merger dari modal yang terpisah-pisah milik beberapa kapitalis, ke dalam satu modal besar. Hal tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan, seperti misalnya ketika joint stock company (perusahaan join) dibentuk, atau dengan paksaan, ketika modal-modal besar menyingkirkan atau bahkan melahap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
Konsentrasi dan sentralisasi mengarah pada monopoli. Persaingan antar kapitalis disadari membawa dampak negatif terhadap mereka akhinya mendorong terjadinya kesepakatan bersama demi tujuan pembagian pasar dan eksploitasi bahan-bahan mentah, penetapan harga dan sebagainya. Itulah monopoli.
Monopoli adalah sebuah kesepakatan antara, atau asosiasi dari kapitalis pemegang kontrol produksi atau penjualan (seringnya produksi dan penjualan sekaligus) atas bagian terbesar dari komoditi tertentu. Apapun bentuk asosiasinya, tujuannya tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya. Asosiasi-asosiasi monopolis muncul terutama di cabang-cabang industri berat, dimana produksi telah terkonsentrasi. Ketika telah memegang kontrol terhadap industri berat, monopoli menyebar ke cabang-cabang industri lainnya, menelan pesaing-pesaingnya.
Bentuk-bentuk asosiasi monopolis bervariasi, dan pada awalnya merupakan kesepakatan short term (waktu yang relatif pendek) antara individual kapitalis berkaitan dengan harga. Sementara kesepakatan yang berjangka waktu relatif panjang (long term), bentuk-bentuknya seperti Kartel, Syndicate, Trust, dan Concern.
Dalam imperialisme, asosiasi-asosiasi monopolis mendominasi ekonomi di negeri-negeri kapitalis. Mereka merengkuh seluruh cabang-cabang industri, transportasi, perdagangan, asuransi, dan perbankan. Di AS tahun 1959, sebagai contoh, industri baja dan besi didominasi oleh 17 perusahaan monopolis, yang memegang kontrol 94 % kapasitas produksi baja. Dua diantaranya – U.S. Steel Corporation dan Bethlehem Steel Corporation – mengontrol setengah dari kapasitas produksi baja di negeri itu. Di bidang industri automobile ada tiga perusahaan monopolis; General Motors, Ford, dan Chrysler, yang pada tahun 1958 memegang kontrol 93 % produksi mobil. Pada Perang Dunia II mereka memproduksi seluruh transportasi, 75 % mesin penerbangan, 40 % tank dan 30 % artileri, mesin-senjata dan sebagainya.
Perusahaan-perusahaan monopolis besar di Inggris, seperti juga di AS, memegang kontrol terhadap ekonomi negerinya. British Iron dan Steel Federation, sebagai contoh, telah menggabungkan seluruh perusahaan-perusahaan baja dan besi di seluruh negeri. Perusahaan monopolis yang terbesar adalah Vickers Armstrong. Selama Perang Dunia II Vickers Armstrong telah menjual kepada pemerintah Inggris 28.000 pesawat terbang, 164.000 senjata berat Di bidang industri kimia, perusahaan monopolis terbesar adalah Imperial Chemical Industries, yang memegang kontrol 95 % produksi kimia dasar. Demikian halnya di Perancis, sebuah kartel, Alluminium Francais, mengontrol seluruh produksi aluminium. Sementara produksi mobil terkonsentrasi di tangan empat perusahaan monopoli.
Monopoli bukan berarti telah menyingkirkan kompetisi sepenuhnya, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh para ideolog borjuis. Jarang ada satu perusahaan monopolis menguasai 100 % monopoli dari seluruh industri. Kompetisi akan terus berlangsung di antara para kapitalis monopolis. Mereka bertarung satu sama lain demi perluasan pasar dan eksploitasi sumber-sumber daya alam, yang diakhiri dengan kesepakatan atau bahkan dengan perang sekalipun.
Modal Finansial dan Oligarki Finansial
Konsentrasi produksi dan formasi monopoli dalam industri, tak pelak, telah mengarah pada konsentrasi modal dalam bank dan monopoli perbankan. Kompetisi di antara bank berakhir dengan hancurnya bank-bank yang lebih kecil, atau bank-bank yang lebih kecil menjadi subordinat, dikontrol oleh yang lebih besar. Tahun 1900 di AS, sebagai contoh, sebanyak 10.382 bank memegang aset 10.785 juta US dollar, tetapi di tahun 1940 jumlahnya meningkat, yakni ada 15.017 bank dengan aset sebesar 80.213 juta US dollar. Berarti, selama 40 tahun jumlah bank meningkat hanya 50 %, sementara assetnya meningkat delapan kali lipat. Tahun 1900, 20 bank besar di AS memiliki 15 % jumlah deposit, dan pada tahun 1956 menjadi 37 %.
Konsentrasi dan monopoli bank telah mengubah hubungan antara bank dan industri. Awalnya, bank hanya berfungsi sebagai perantara dalam pembayaran. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, operasi kredit bank meluas. Konsentrasi dan sentralisasi bank menciptakan situasi di mana bank mendapatkan kekuatan ekonomi yang begitu besar. Ketika bank memegang uang kapitalis, sebagai konsekuensinya, bank mengetahui sepak terjang kliennya, mendapatkan kontrol terhadapnya, dan dengan kreditnya — yang bisa dengan mudah atau sukar didapat — menempatkan kapitalis industri di dalam posisi subordinat dan dapat mengarahkan aktivitasnya.
Jadi, dari sekedar fungsi perantara dalam hal pembayaran, bank telah menjadi pusat finansial yang memiliki kekuatan penuh. Peralihan dari bank menjadi monopolis besar, dengan demikian, semakin mempercepat konsentrasi produksi. Hal ini terjadi karena bank memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar monopolis. Bank mulai membeli saham di dalamnya. Mereka membeli cukup saham untuk menjamin bahwa mereka memiliki suara yang menentukan dalam monopoli. Sebaliknya, para kapitalis industri juga memiliki saham di bank. Hasilnya adalah antar-hubungan, kerjasama, koalisi, antara monopoli bank dengan modal industri. Ini menjadi basis bagi kelahiran sebuah modal finansial.
Koalisi antara modal bank dan industri mengambil berbagai bentuk. Yang paling kuat adalah personal union, yakni ketika orang yang sama memegang kontrol terhadap bank, industri, perdagangan, dan monopoli lainnya. Di Indonesia terlihat nyata, seperti Liem Soe Liong, atau bahkan “Soeharto” yang memegang monopoli bank dan sekaligus banyak cabang industri.
Pertumbuhan monopoli dan modal finansial membentuk lingkaran kecil orang yang menempati posisi yang dominan, tidak hanya ekonomi tapi juga politik. Lingkaran-lingkaran tersebut yang kita kenal dengan oligarki finansial. Seluruh cabang ekonomi penting dan seluruh posisi kunci dalam alat-alat politik di negeri-negeri kapitalis berada di tangan oligarki finansial.
Di AS, sebagai contoh, peran yang menentukan dalam ekonomi ada dalam cengkeraman kelompok-kelompok finanisial, seperti Rockefeller, Morgan, Duport, Mellon, Bank of America, Chicago Bank, Cleaveland Bank, dan First National City Bank. Di tahun 1955, total modal yang dikontrol oleh kelompok-kelompok tersebut sebesar 218.500 juta US dollar. Yang terbesar adalah Rockefeller dan Morgan.
Di Inggris kelompok-kelompok ini mendominasi kehidupan perekonomian negeri. Mereka memegang kontrol terhadap industri-industri utama.
Oligarki finansial, seperti dikatakan di atas, tidak hanya mencengkeram ekonomi, tetapi juga kehidupan politik, melalui merger antara monopolis dengan mesin-mesin negara, birokrasi, tentara, dan sebagainya. Mereka dengan mudah mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah dan parlemen. Di Indonesia pada masa orde baru, para oligarki finansial bukan hanya memiliki pengaruh terhadap kebijakan parlemen dan pemerintah, bahkan mereka sendiri menjadi aparatusnya.
Ekspor Modal dan Pembagian Dunia
Sebelum jaman imperialis, bentuk utama dari hubungan ekonomi antar-negeri adalah ekspor komoditi. Di bawah imperialisme, bukan lagi komoditi yang diekspor. Pada era imperialisme perdagangan dunia berkembang, namun ekspor modal menjadi penting. Ekspor modal menjadi basis bagi eksploitasi terhadap negeri-negeri dunia ketiga oleh beberapa negeri imperialis besar. Aturan yang berlaku adalah “surplus” modal menimbun di negeri-negeri kapitalis maju.
Modal diekspor ke luar dalam dua bentuk: modal pinjaman dan modal produktif. Ekspor modal pinjaman terjadi ketika pinjaman tersedia bagi pemerintah atau negeri lain. Negeri yang menerima pinjaman tersebut harus membayar. Dalam hal ini, bagian terbesar dari nilai lebih yang diciptakan oleh buruh di negeri tersebut dialirkan ke negeri yang mengekspor modal tersebut. Ekspor modal produktif terjadi ketika kapitalis membangun perusahaan-perusahaan industri di negeri-negeri lain. Seperti contoh, sebuah joint stock companie yang dibangun AS untuk eksploitasi sumber daya minyak di Amerika Latin.
Ekspor modal membawa akibat hubungan ekonomi yang lebih luas. Namun, hubungan ekonomi tersebut berarti perampasan terhadap negeri-negeri yang terbelakang oleh negeri-negeri maju.
Kaum monopolis di negeri-negeri kapitalis berupaya untuk tidak membagi dominasi pasar dalam negeri. Mereka memisahkan pasar, menjaga harga pada level yang tinggi dan membuat keuntungan besar. Untuk mempertahankan tingginya harga, monopolis berupaya memproteksi pasar dalam negeri terhadap kompetisi asing. Pemerintah memberlakukan tarif impor tinggi, kadang bahkan menghancurkan komoditi impor tertentu. Namun, pasar dalam negeri sangat terbatas, maka untuk membesar keuntungan, monopolis harus menjual di pasar asing. Bagaimana mungkin mereka melakukannya manakala pasar-pasar tersebut diproteksi oleh tingginya pajak impor? Demi meniadakan pajak impor yang tinggi mereka mengekspor modal. Kapitalis membangun pabrik-pabrik di negeri-negeri lain. Lantas membanjiri pasar dengan komoditinya.
Perjuangan menguasai pasar asing, eksploitasi sumber-sumber bahan mentah dan memperbesar penanaman modal mengarah pada suatu pembagian ekonomi dunia di antara para monopolis. Dalam industri, ketika beberapa syndicate memegang peran di dunia kapitalis, sebuah kondisi terciptakan bagi formasi monopolis internasional. Monopoli internasional berkembang pada dekade 1860-an dan 1890-an. Pada akhir abad 19 ada kira-kira 40 monopolis, dan pada awal Perang Dunia Kedua (1939) lebih dari 300.
Sepanjang masa peralihan imperialisme, penaklukan koloni-koloni diintensifkan. Antara tahun 1876 dan 1914, kekuatan-kekuatan besar telah menggenggam dalam cengkeramannya 25 juta kilometer persegi daerah koloni. Bagian terbesar didapat oleh Inggris. Pada tahun 1876 Inggris memiliki daerah koloni sebesar 22,5 juta kilometer persegi, namun pada tahun 1914 meningkat 11 juta kilometer persegi lagi. Jerman, AS dan Jepang yang sebelumnya tidak memiliki daerah koloni, pada tahun 1914 teolah merebut 14,1 juta kilometer persegi.
Pada awal abad 20 pembagian dunia telah sempurna, tidak ada lagi daerah yang “bebas”. Perang pertama untuk pembagian dunia terjadi pada tahun 1898, yakni antara AS dan Spanyol. Akibat dari perang tersebut imperialis AS merebut Filipina, Puerto Rico, Guam, Cuba, Hawaii dan Samoa.
Perang Dunia I dan II adalah upaya untuk membagi-bagi kembali dunia. Asia milik siapa, Amerika Latin milik siapa, dan Afrika miliki siapa.
Globalisasi: Topeng Baru Imperialisme
Imperialisme tengah memakai topeng barunya: “globalisasi. Istilah tersebut digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat, dan politisi borjuis, sebagai sebuah era baru di mana batas-batas nasional, bangsa, negeri, dan budaya menjadi tidak relevan lagi. Dunia telah disatukan. Batas-batas negeri telah dinihilkan. Padahal sesungguhnya, “globalisasi” ini hanyalah sebuah pembenaran; sebuah legitimasi atas pengendalian terhadap hajat hidup orang banyak di tangan perusahaan-perusahaan multi-nasional; atas pengerukan kekayaan alam negeri dunia ketiga oleh dunia pertama.
Sebagai gejala, “globalisasi” sebenarnya telah terjadi sejak 500 tahun lalu, ketika para pedagang Eropa mulai merampas bahan-bahan mentah, membuka pasar dan membangun kerajaan dagang dunia di negeri-negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin — yang disebut dengan negeri-negeri dunia ketiga–guna mengeksploitasi dunia ketiga dan mengakumulasi modal dunia pertama. Fenomena tersebut dinamai dengan internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi: internasionalisasi nilai lebih. “Globalisasi”, internasionalisasi nilai lebih tersebut meningkat sejak abad 19 hingga PD I ( waktu itu ekspor meningkat dari 3 % output seluruh dunia tahun 1800 menjadi 16 % pada tahun 1913).
“Globalisasi” yang sekarang, memiliki watak yang berbeda, dapat disebut sebagai internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal. Ia bukan lagi komoditi yang terinternasionalisasi, tetapi kekuatan pengendali modal.
Modal-modal yang digabungkan (merger), bukan hanya modal-modal kapitalis yang ada dalam satu negeri. Modal-modal yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan yang dari berbagai negeri tersentralisasi dan terkonsentrasi ke dalam badan-badan penentu kebijakan tunggal, secara internasional. Jadi, monopoli tidak lagi dikuasi oleh modal nasional tetapi internasional; tidak lagi dijalankan oleh imperialis dari satu negeri, tetapi secara bersamaan dari berbagai negeri. Pendek kata, mari kita rampok dunia ketiga bareng-bareng !!.
Lebih dikenal dengan perusahaan-perusahaan multi-nasional atau Multi National Coorporation (baca MNC). Menurut Laporan Investigasi Dunia 1993 yang diterbitkan oleh PBB, ada sekitar 37.000 perusahaan internasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90 % dari perusahaan tersebut berkantor pusat di negara-negera maju.
Hal tersebut yang digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat dan Ilmuwan borjuis sebagai “globalisasi” — konsentrasi nilai yang diproduksi masyarakat dunia ke tangan segelintir multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi.
Kekuatan ekonomi perusahaan multi-nasional jauh lebih besar ketimbang di negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat menjadi 5,5 milliar dollar, 90 % yang dibuat negara imperialis Utara dan hanya 10% dibuat di negara produsen Selatan. Sejalan dengan kekuatan ekonominya, langsung atau tidak langsung, perusahaan multinasional memiliki kekuatan politik tak terbatas melampaui negara nasional, yang dapat menyetir negara-negara, terutama negara dunia ketiga. Trilliunan dollar keluar masuk sebagai gerak internasional modal finansial. Total asset stock of financial assets meningkat dari US $5 trillion di 1980 menjadi US $ 35 trilliun di 1992 dan diharapkan melebihi US $ 80 trilliun pada tahun-tahun belakangan ini — tiga kali lebih besar dari nilai total barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Dan hasil “globalisasi”: pengukuhan oligarki finansial Amerika — Rockefellers, Mellons, Morgans, Duponts, Whitneys, Warburgs, Vanderbilts, dan lain-lain– yang bukan saja menguasai bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusahaan-perusahaan industri tidak saja di Amerika, tapi di dunia.
Kekuasaan perusahaan-perusahaan tersebut jauh lebih besar ketimbang negara-negara “induk”, apalagi negara-negara dunia ketiga. Mereka tidak hanya mengontrol kebijakan-kebijakan negara-negara induk, tetapi juga dapat mendikte kebijakan-kebijakan negara-negara dunia ketiga; dapat memaksakan utang dan pembayaran utang; memaksakan pergantian sebuah pemeritahan di dunia ketiga, dan sebagainya.
NEOLIBERALISME
Krisis Kapitalisme dan Percobaan Menjawabnya
Kapitalisme akan selalu mengalami pertentangan di dalamnya. Dalam perkembangannya, kapitalisme mengikat massa kelas buruh dalam jumlah besar, dan mengakibatkan pembagian kerja makin meluas. Cabang-cabang industri yang sebelumnya terpisah-pisah, independen satu sama lain, telah dipersatukan dalam produksi yang kait-mengkait. Hubungan-hubungan ekonomi mengikat perusahaan, wilayah, negeri, yang pada perkembangannya makin mendorong terjadinya sosialisasi kerja dan sosialisasi produksi kapitalis yang terus-menerus. Kapitalis memproduksi komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Inilah basis dari pertentangan yang selalu ada (inheren) dalam kapitalisme: produksi memiliki watak sosial, sementara alat-alat produksi dimiliki secara pribadi. Pertentangan tersebut makin meruncing seiring dengan perkembangan pesat kapitalisme (perkembangan sosialisasi kerja dan perkembangan sentralisasi dan konsentrasi modal) yang bermuara pada krisis kelebihan produksi. Seperti pernah terjadi pada pertengahan akhir abad 19, awal-awal abad 20, 1974-1975, 1980-1983, 1990-1993. Krisis tersebut terjadi karena over produksi komoditi. Penyebabnya dari watak kapitalisme itu sendiri, yang karena didorong motivasi mengeruk laba sebanyak mungkin, ia berproduksi terus menerus tanpa perencanaan, yang pada gilirannya menurunkan tingkat keuntungan karena komoditi tak terbeli.
Pada awal abad 20, tepatnya pada akhir tahun 1920-an, terjadi stagnasi dan resesi besar-besaran. Kelebihan produksi komoditi secara massal, sementara komoditi tidak terjual akibat daya beli ambruk. Structural overcapacity (kelebihan kapasitas secara struktural) dan pasar uang menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Kapitalisme mencoba mengatasi krisis tersebut dengan jalan meningkatkan tingkat bunga guna menahan laju permintaan kredit konsumsi — yang akan meningkatkan harga-harga inflatory barang-barang dan jasa-jasa. Namun di tahun 1929 stock-market mengalami kehancuran, harganya merosot drastis akibat tak terjual. Akibatnya banyak investor dan kreditor bangkrut dan investasi produksi baru menurun. US Federal Reserve tidak bisa lagi mempertahankan sistem perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri kapitalis yang saling bersaingan meningkatkan proteksinya.
Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang akibat krisis. Krisis sosial-politik potensial siap meledak, yang bukan saja berpengaruh pada Amerika namun juga seluruh dunia. “Liberalisme”, “pasar bebas”, “persaingan bebas”, “tanpa adanya kontrol”, yang bermuara pada pengertian kebebasan kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, yang selama ini dianut oleh kapitalisme dengan maestronya Adam Smith dianggap telah mengalami kegagalan.
Datanglah John Maynard Keyness dengan teorinya yang menyatakan bahwa liberalisme bukanlah cara terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya adalah, bahwa full employment (keadaan tanpa pengangguran) adalah hal yang diperlukan dalam rangka pertumbuhan kapitalisme. Keadaan tersebut hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan tingkat pengangguran. Menurut Keyness, negara kemudian tidak hanya diharapkan menjaga ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum; menyediakan prasarana umum dan sosial yang memadai; melaksanakan program pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan sosial — seperti yang dikatakan oleh Adam Smith – saja; tetapi juga ikut serta secara langsung dalam investasi di bidang industri. Negara tidak boleh hanya menjadi parasit, tetapi sekaligus juga investor. Ide tersebut mempengaruhi presiden AS, Roosevelt, untuk membuat program New Deal di tahun 1935, program yang ditujukan untuk “meningkatkan kesejahteraan banyak orang”, meningkatkan daya beli. Presiden Roosevelt kemudian mendorong administrasinya campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi dengan memusatkan perhatiannya dalam menciptakan lapangan kerja secara massal. Pada musim dingin 1933-1934 saja sudah 4 juta orang bisa mendapat lapangan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum, di atas basis anggaran belanja defisit dan Social Security Act of 1935. Apa yang dilakukan oleh Roosevelt dengan New Deal-nya merupakan suatu pengakuan bahwa dalam perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal uang, ekonomi kapitalis membutuhkan intervensi negara, bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka ia akan hancur. Hanya negara yang sanggup melanggengkan kapitalisme. Memang hanya dalam dua tahun, 1936-1937, telah terjadi perbaikan terhadap ekonomi Amerika, bisa menyelesaikan depresi ekonomi, misalnya saja pengangguran bisa ditekan sampai tingkat 4,5 juta orang (dari 13 juta orang). Namun, pada bulan Maret 1938 pengangguran melonjak kembali menjadi 11 juta orang dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II.
Cara-cara Keynes hanya akan mendorong suatu inflasi harga barang-barang dan jasa-jasa saja bila para investor yang menguasai bisnis (oligarki finasial) tidak bisa memperluas pasar bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan itu, itulah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian sangat terbatas.
Hanya perang atau persiapan perang yang dapat memperluas pasar: pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi — terutama penemuan-penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomatisasi proses produksi. Revolusi teknologi inilah yang menyebabkan berlipatgandanya profit karena bisa menghemat ongkos produksi barang-barang. Penghematan ini, memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah, dengan konsumen yang lebih besar. Dengan perang, sektor-sektor produksi yang tidak penting dan membuang biaya besar telah dihancurkan.
Paska perang dunia, pada tahun-tahun 1950-an-1970-an dunia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, hanya terjadi resesi kecil pada tahun 1960-an. Periode ini sering dijuluki banyak kalangan dengan “jaman keemasan”.
Apa daya, “Jaman keemasan” telah berakhir, dunia kembali tersungkur dalam resesi. Krisis kelebihan produksi secara periodik terjadi kembali. Diawali pada tahun 1973-1975 dengan indikasi stagnasi panjang dan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Ukuran stagnasi panjang tersebut adalah lambatnya perkembangan produktivitas kerja. Pertumbuhan produktivitas kerja AS, misalnya, selama 25 tahun belakangan adalah rata-rata 1 % per tahun, padahal 25 tahun sebelumnya rata-rata 2 %. Indikasi lain bahwa resesi makin dalam adalah statistik ekonomi dunia. Antara 1970-1990 rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 %. Selama dasawarsa 70-an ada 8 tahun pertumbuhan di atas rata-rata tersebut dan 2 tahun di bawah rata-rata, selama dasawarsa 80-an ada 5 tahun di atas rata-rata, 4 tahun di bawah rata-rata.
Pada dasawarsa 1990-an AS, yang telah menjadi negeri imperialis besar, meraih keuntungan besar (boom) karena ekspor dan penurunan upah riil buruh. AS mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 1997 karena ekspornya. Namun, pertumbuhan tersebut terjadi di tengah-tengah ekonomi dunia yang sedang mengalami resesi. Dalam perkembangannya, ekspor AS menurun karena resesi, justru imporlah yang naik karena perubahan nilai pertukaran mata uang. Sumber dari boom yang selama 8 tahun tersebut bukan hanya karena penurunan tingkat upah — yang berarti kaum buruh kalah — dan kompetisi pasar internasional, tetapi juga karena ledakan spekulasi di bursa saham AS. Tapi, pada bulan Agustus 1998 bursa saham AS jatuh (Allen Mayer, 1999).
Serupa dengan AS, Jepang pernah mengalami booming hingga tahun 1995 karena ekspor Jepang meningkat, namun pada tahun 1998 terjadi stagnasi, ditunjukkan dengan angka penggangguran di Jepang (negeri yang dikenal tidak ada pengangguran) yang meningkat hingga 4,1 %. Selain itu, beberapa industri dan bank juga tengah mengalami kebangkrutan, sehingga pemerintah Jepang mengeluarkan Paket Kebijakan Penyelamatan (Allen Mayer, 1999). Sementara, di Eropa stagnasi mulai terjadi pada tahun 1997-1999. Salah satu penyebabnya adalah boom AS.
Negeri-negeri Asia selain Jepang jauh lebih parah. Tujuh chaebol (pengusaha besar) bangkrut di Korea Selatan, Thailand mengalami kejatuhan mata uang, sedangkan Indonesia tak pelak menjadi negeri yang paling buruk tertimpa krisis.
Di Amerika Latin, krisis terjadi antara tahun 1981-1985 yang ditandai dalam penurunan pendapatan perkapita nasional, jatuhnya perdagangan, jatuhnya aliran masuk modal pinjaman dan investasi, dan ketidakmampuan membayar utang luar negeri serta krisis mata uang.
Di Meksiko, salah satu negeri di Amerika Latin, tak luput dari hempasan krisis. GDP yang pada dekade tahun 1970-1979 rata-rata 6,4 %, menurun menjadi 1,35 % antara tahun 1980-1989. Utang luar negeri dari 530 juta peso di tahun 1970 naik menjadi 700.000 juta peso di tahun 1995. Tahun 1982 Bank of Meksiko bangrut, Meksiko tak mampu membayar utang nasional. Jatuhnya harga minyak mempercepat pula ambruknya sistem keuangan Meksiko.
Dalam kondisi krisis over produksi, modal mengalami kejenuhan, tidak produktif dan mengalami kelebihan kapasitas. Modal tidak dapat lagi diinvestasikan dalam produksi, karena ia akan mati. Modal harus “dibuang”, inilah awalnya. Mari kita rampok lagi dunia ketiga, begitu kira-kira.
Pada pertengahan tahun 1980-an, dengan dipimpin oleh IMF dan World Bank, diperkenalkan sebuah kebijakan baru dalam pembangunan ekonomi, yang disebut dengan New Ortodoxy. Kebijakan inilah, yang kemudian disebut sebagai neoliberalisme.
Kata “neoliberalisme”, sebenarnya, merujuk pada prinsip-prinsip gagasan liberal klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith. Sistem doktrinnya dikenal dengan “Washington Consensus” yang diprakarsai oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional. Bedanya dengan liberalisme lama, dalam neoliberalisme ini yang mengalami internasionalisasi adalah kekuatan pengendali modal.
Pada intinya, neoliberalisme yang merupakan jawaban dari krisis ekonomi memiliki pengertian pokok sebagai berikut: swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi arus perdagangan dan modal, deregulasi sektor-sektor swasta, penghapusan subsidi, peniadaan kontrol harga, pemotongan atas program-program sosial dan sebagainya.
Kebijakan neoliberal termanifestasi dalam berbagai bentuk program, seperti SAP (Structural Adjustment Program), dan dalam kasus Indonesia, Letter of Inten (LoI).
Benarkah –seperti dikatakan para ekonom dan politisi borjuis– bahwa neoliberalisme menghilangkan campur tangan negara terhadap pasar? Sama sekali tidak. Negara merupakan alat bagi kepentingan kapitalisme. Makna menghilangkan campur tangan negara adalah bahwa negara-negara berkembang (dunia ketiga) diperlemah: tidak adanya peraturan-peraturan yang akan mengganggu arus perdagangan dan modal di dunia ketiga bagi keuntungan imperialis — karena modal harus segera “dibuang”. Di sisi lain, imperialis tetap memakai kekuasaan bersenjatanya untuk memaksakan kebijakan-kebijakan mereka terhadap dunia ketiga, seperti Perang Teluk yang telah berlangsung sekian lama, Krisis Balkan, dan campur tangan AS terhadap negara-negara di Amerika Latin. Bahkan di dunia pertama, di Inggris tepatnya, pada era paska pemerintahan Tatcher pajak yang diambil pemerintah meningkat dibandingkan dengan era Tatcher.
Menghilangkan proteksionisme berarti proteksi sini, tidak untuk sana. Faktanya, di negara dunia ketiga tidak boleh menjalankan kebijakan proteksionisme terhadap industri lokalnya. Sementara, negara-negara maju menjalankannya. Sebagai contoh, NAFTA, didirikan sebagai proteksi terhadap kecenderungan demokratisasi di Meksiko dan para kompetitor dari Eropa dan Asia Timur.
Pemangkasan subsidi artinya dihilangkannya subsidi-subsidi untuk publik yang dianggap tidak efisien dan dialihkan untuk subsidi terhadap para kapitalisme besar.
Demikian halnya dengan “perdagangan bebas”, yang maknanya bebas untuk kami, tidak bebas untuk kalian. “Kompetisi Bebas”, justru sebaliknya. Salah satu jawaban dari krisis over produksi adalah dengan meningkatkan monopolisasi, dengan menghapuskan kompetitor-kompetitor di dunia ketiga dan juga lewat pengambilalihan dan penggabungan modal.
Liberalisasi perdagangan dan arus modal, artinya, pengurangan bea tarif impor, untuk mempermudah arus komoditi dan modal dari dunia pertama ke dunia ketiga.
Krisis ekonomi, menurut imperialis, tidak dapat lagi diatasi hanya dengan eksploitasi dunia ketiga semata. Modal harus terus ditanamkan di dunia ketiga, pasar di dunia ketiga harus terus dibuka dan dihilangkan seluruh hambatan-hambatannya. Upaya jahat tersebut, sekali lagi, dipermudah melalui program-program neoliberalisme.
Lantas, mengalirlah modal besar-besaran dari dunia pertama ke dunia ketiga, dipelopori di Amerika Latin. Keyness sudah usang. Yang dibutuhkan oleh imperialisme bukan keadaan full employment, akan tetapi angka pengangguran, agar nilai posisi tawar buruh tetap terjaga rendah.
Kegagalan Neoliberalisme
Kebijakan neoliberal yang coba diterapkan sejak awal tahun 1980-an di Amerika Latin, sebagai upaya untuk mengatasi krisis, ternyata gagal. Memang, ada peningkatan ekonomi di negara-negara kapitalis maju pada periode tahun 1980-1982, dan nampaknya resep neoliberal sudah jalan. Namun, pada periode 1990-1993, pengangguran meningkat tajam, mencapai angka resmi 8 % di negara-negara tersebut (Lorimer, 1998). Berikut adalah negeri-negeri di Amerika Latin yang terkena dampak terparah dari kebijakan neoliberal:

Meksiko

Sejak awal tahun 1980-an, demi mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Meksiko menjalankan kebijakan neoliberal yang didesakkan oleh IMF dan Bank Dunia, diantaranya adalah program-program pengurangan pengeluaran publik (termasuk sosial), penghapusan subsidi, pembatasan kredit, swastanisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi perdagangan, dan liberalisasi harga. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat berat bagi rakyat Meksiko. Bukannya menyelesaikan krisis ekonomi, sebaliknya justru memerosokan rakyat Meksiko ke jurang kemiskinan. Kemiskinan, tingginya angka kematian selalu menghantui rakyat Meksiko, baik petani kecil yang tinggal di pedesaan maupun mereka yang tinggal di kota, kaum miskin kota.
Pada umumnya, kebijakan neoliberal mendorong pemotongan subsidi di sektor-sektor “non-produktif”, termasuk di dalamnya adalah pengurangan subsidi di sektor kesehatan. Demikian halnya program pengurangan subsidi di sektor pendidikan dipaksakan di Meksiko. Selama dekade 1980-an, akibat pengurangan yang terus menerus, subsidi dana kesehatan berkurang dari 4,7 % menjadi 2,7 %. Akibatnya jasa pelayanan kesehatan menjadi mahal. Hal yang mengerikan terjadi adalah pada tahun 1980 hingga 1992 angka kematian di Meksiko meningkat hampir 3 kali lipat, bahkan mencapai 30.000 orang pertahun pada 1995. Hingga bulan September 1995, tercatat 80 anak usia di bawah satu tahun meninggal setiap harinya akibat kekurangan gizi.
Dapat dibayangkan, pada tahun berikutnya, Meksiko akan mengalami krisis generasi. Memang, pemerintah merencanakan akan menaikkan subsidi di sektor kesehatan hingga tahun 2000. Toh, kenaikan ini tampaknya tak cukup mampu mengembalikan keadaan.
Sektor pendidikan pun mengalami pemotongan subsidi serupa. Mahalnya biaya pendidikan membuat jumlah anak yang bersekolah hingga ke jenjang pendidikan lanjut menyusut.Antara tahun 1982 hingga 1990, dana untuk pendidikan merosot 5,5 % dari GDP ke 2,5 %. Harga buku-buku pun merangkak naik dan tak terjangkau lagi oleh keluarga miskin. Terpaksa , anak-anak pun harus bekerja untuk membantu kesulitan ekonomi keluarganya. Wilayah San Miguel tercatat sebagai wilayah terparah untuk kasus ini.
Liberalisasi perdagangan pun memukul telak sektor pertanian. Untuk menarik penanaman modal asing presiden Salinas sejak pertengahan tahun 1980-an mengeluarkan sebuah kebijakan di sektor pertanian, yang membuat para petani terpaksa menjual atau menyewakan tanahnya. Negosiasi dengan NAFTA tentang reformasi ekonomi menyepakati penurunan tarif impor maksimum dari 100 % menjadi 20 %. Padahal selama ini, tarif impor telah melindungi petani Meksiko dari limpahan komoditi impor, terutama dari Kanada dan AS yang jauh lebih murah. Akibatnya, produk-produk pertanian asing yang murah dan kualitasnya lebih baik, membanjiri pasar-pasar Meksiko. Inilah awal dari malapetaka yang berkepanjangan di wilayah Chiapas, Selatan Meksiko yang paling parah kondisinya. Selama beberapa tahun, jutaan petani kecil dan buruh tani telah kehilangan tanah dan pekerjaannya, sehingga terjadilah arus urbanisasi besar-besaran. Selain, banyak juga yang nekat meninggalkan Meksiko menuju perbatasan mencari penghidupan sebagai imigran gelap.
Industri kecil dan menengah domestik di kota tak luput dari kehancuran lantaran kalah bersaing dengan AS dan Kanada. Termasuk juga kaum buruhnya. Setiap hari, sejak tahun 1995, tercatat hampir 8.000 buruh kehilangan pekerjaan.
Sejak swastanisasi dijalankan oleh pemerintah Miguel de la Ma Dewan Rakyat id pada awal tahun 1980-an, kemudian diteruskan oleh pemerintahan Salinas dan Zedillo, jumlah perusahaan negara telah berkurang dari 1.155 di tahun 1987 menjadi 232 pada tahun 1992. Sebagian besar diantaranya dibeli oleh modal asing. Sebelumnya pemerintah memberikan tawaran-tawaran yang menggiurkan di antaranya adalah upah buruh yang murah. Antara tahun 1982 – 1988 upah riil buruh menurun 53 %, tahun 1988-1994 sebesar 28 %, dan 13 % pada tahun 1995. Di luar itu adalah dilakukannya pemecatan-pemecatan dengan alasan politik, yakni bahwa buruh-buruh menentang program swastanisasi. Sedikitnya 500.000 lapangan pekerjaan telah hilang (padahal setiap tahunnya Meksiko membutuhkan 1 juta lapangan pekerjaan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduknya). Inilah cara-cara untuk mempertahankan rendahnya kekuatan tawar buruh.
Mata uang peso pun ambruk pada pertengahan tahun 1990an. Angka kemiskinan meroket tajam. Selama hampir 15 tahun rata-rata hampir 700.000 orang jatuh miskin setiap tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin di Meksiko sebesar 42 juta, sementara jumlah penduduk yang sangat miskin mencapai 18 juta.
Agaknya, sulit bagi rakyat Meksiko beranjak dari kemiskinan. Di satu sisi kebijakan-kebijakan pemerintahnya telah membawa akibat kemundurun ekonomi; di sisi lain Meksiko harus menanggung utang luar negeri yang berat. Padahal utang luar negeri hanya dapat dibayarkan melalui ekspor, yang justru telah menurun sejak 1997 akibat tak cukup dana.
Nikaragua
Tahun 1990-an merupakan masa transisi bagi Nikaragua. Dengan berakhirnya perang kontra dan blokade ekonomi AS, pemerintahan Violeta Chamoro telah berdiri dengan tujuan-tujuan yang berbeda dari sebelumnya, Sandinista. Pemerintahan baru ini secara aktif mengajukan program rekonsiliasi politik dan reformasi ekonomi. Ia juga memajukan kebijakan ekonomi pasar bebas, yang merupakan paket dari IMF dan Bank Dunia. Kebijakan tersebut telah membawa Nikaragua jatuh pada kemiskinannya.
Krisis diawali pada 1990an.Pemerintahan Sandinista telah berupaya membangun sebuah ekonomi campuran, negara dan swasta, termasuk produksi kecil sembari meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ada beberapa hasil, seperti perbaikan ekonomi, tetapi timbul juga masalah-masalah signifikan. Tahun 1987, dengan jatuhnya harga kopi internasional dan meningkatnya biaya militer berkaitan dengan perang. Sandinista terpaksa memperkenalkan serangkaian tindakan stabilisasi untuk mengurangi tingginya inflasi dan merestorasi keseimbangan.
Program tersebut, termasuk pemotongan pengeluaran pemerintah di bidang pelayanan sosial. Program penyesuaian lebih massif dilakukan oleh pemerintahan Chamoro. Pada tahun 1990 Nikaragua memperluas program neoliberal dengan swastanisasi. Sama halnya dengan Meksiko, program liberalisasi sektor finansial dan pengurangan subsidi sektor publik diperkenalkan. Namun kebijakan tersebut harus dibayar mahal. GDP perkapita dalam tahun 1993 jatuh 73 % dari rata-rata tahun 1985-1989, sementara investasi mengalami penurunan sebesar 63 %. Tahun 1994, GDP menurun lagi sebesar 3,2 %. Rakyat Nikaragua juga terancam kekurangan gizi dan angka keamtian cukup tinggi. Hampir 300.000 buruh yang bekerja di sektor publik kehilangan pekerjaan sejak tahun 1990.
Para petani kecil dan menengah juga harus terjungkir oleh kebijakan pemotongan subsidi pertanian sebesar 63%. Produksi industri berkurang jika dibandingkan dengan selama tahun 1985-1989. Defisit perdagangan meningkat dari 304 juta US dollar di tahun 1989 menjadi 433 US dollar di tahun 1994, karena naiknya nilai impor naik akibat liberalisasi perdagangan.
Perempuan juga korban terbesar dari swastanisasi perusahaan, karena lebih dari 70 % pekerjaan yang disediakan pemerintah mempekerjakan perempuan. Industri tekstil dan garmen yang memiliki modal kecil kalah dan digantikan dengan pabrik-pabrik yang beroperasi dalam kerangka pasar. Perempuan yang kehilangan pekerjaan terpaksa mencari pekerjaan di sektor-sektor informal. Sebesar 75 % pendapatan perempuan menurun jika dibandingkan dengan laki-laki yang turun sebesar 65 %.
Penurunan juga terjadi pada upah buruh, pada tahun 1993 tercatat upah riil buruh hanya 59 % dari upah mereka di tahun 1980. Pada tahun 1991, upah riil buruh dapat memenuhi 92 % dari kebutuhan, namun di tahun 1993 hanya memenuhi 67 % dari kebutuhan. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, 75 % rakyat Nikaragua hidup dalam kemiskinan.
Chili
Chili adalah negeri pertama yang menjalankan program neoliberalisme dengan paket swastanisasi yang massif dan meluas. Kebijakan neoliberlisme dicoba diterapkan di Chili pada pertengahan tahun 1970-an.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki secara kolektif oleh rakyat telah ada sebelum tahun 1970, tepatnya ketika Chili dipimpin oleh presiden Sosialis, Salvador Alllende dan telah memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan penyediaan kredit dan perlindungan tarif demi pembangunan industri lokal dan kesejahteraan rakyat.
Program swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan publik tersebut mulai dilakukan setelah jatuhnya pemerintahan Allende oleh kudeta militer Pinochet pada tahun 1973. Agenda swastanisasi dijalankan melalui dua gelombang. Gelombang pertama antara tahun 1975 hingga 1982 dengan dengan penjualan bank-bank yang sebelumnya menjadi milik rakyat. Dalam banyak kasus bank-bank tersebut dibeli oleh segelintir keluarga kaya yang telah mendominasi keuangan dan industri Chili selama setengah abad sebelumnya. Gelombang kedua antara tahun 1985 hingga Pinochet menyerahkan kekuasaan di tahun 1990..
Dengan jatuhnya keuangan dan resesi di tahun 1981, ideologi pasar bebas mendominasi di Chili, mendorong swastanisasi dijalankan. Rakyat telah banyak kehilangan bank-bank yang selama ini berperan dalam penyediaan kredit. Sejalan dengan desakan IMF dan Bank Dunia, pemerintah mengambil alih bank-bank yang telah jatuh akibat krisis. Dari 19 bank yang telah dijual kepada pihak swasta pada tahun 1970-an, hanya 5 bank yang kembali ke tangan pemerintah. Pada tahun 1985 kembali pemerintah menjual kepada pihak swasta.
Gelombang kedua swastanisasi dimulai pada akhir tahun 1985, ketika pemerintah memperkenalkan program swastanisasi terhadap seluruh sisa perusahaan-perusahaan publik, yang masih termasuk enam dari sepuluh perusahaan terbesar di Chili.
Konsekuensi dari swastanisasi adalah upah buruh murah dan pengekangan terhadap hak-hak kaum buruh. Pada tahun 1980 undang-undang perburuhan dihapuskan, para pemimpin serikat buruh buruh yang menentang swastanisasi mengalami intimidasi dan beberapa kasus mereka disogok. Pada awal swastanisasi gelombang kedua, para pemimpin serikat buruh berupaya kembali mengorganisir perlawanan, namun gerakan tersebut dilibas dengan keras oleh pemerintah pada pertengahan tahun 1980-an.
Pada tahun 1988 pendapatan per kapita dan upah riil buruh tidak jauh berbeda dari tahun 1973, dengan angka pengangguran rata-rata 15 % antara tahun 1975 dan 1985 (dengan puncaknya mencapai 30 % pada tahun 1983). Antara tahun 1970 dan 1987 angka kemiskinan meningkat dari 17 % menjadi 38 %. Antara tahun 1979 dan 1988 bagian terkaya dari penduduk Chili dapat meningkatkan pendapatannya dari 36 % menjadi 46,8 % dari pendapatan nasional. Sedangkan bagian termiskin turun dari 20 % menjadi 16,8 % (Atilio A. Baron: 1999).
Tak beda dengan kasus di negara lain, angka kemiskinan pun cenderung naik dari tahun.
Umumnya, problem yang dihadapi oleh rakyat Amerika Latin adalah kemiskinan. Neoliberalisme tidak memperbaiki nasip mereka, justru makin menyengsarakan rakyat. Hanya para oligarki finansial internasional yang mengais keuntungan, karena perdagangannya terus mengalami surplus, selain itu mereka dapat mengambil alih perusahaan-perusahaan penting di dunia ketiga (dalam kasus Chili dan Nikaragua perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya dimiliki oleh rakyat secara kolektif, kini dijual kepada perusahaan multi-nasional). Demikian halnya dengan program deregulasi, kini perusahaan-perusahaan multi-nasional yang beroperasi di dunia ketiga, tak lagi menghadapi hambatan undang-undang dan peraturan negara.
Neoliberalisme adalah program yang dipaksakan oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional, demi menjamin aliran modal dan perdagangan lancar. Jika tidak lancar, krisis ekonomi periodik akan menghantam mereka.
Perlawanan Terhadap Neoliberalisme
Sesungguhnya, perlawanan menentang neoliberalisme di berbagai belahan negeri cukup banyak memberi contoh. Di Amerika Latin elemen-elemen penting kaum buruh masih tetap dalam oposisi terhadap kebijakan neoliberal. Di Brazil, oposisi dan perlawanan gerakan buruh membawa kepada pembentukan partai buruh (PT). Pada bulan April 1994, pada pemilihan umum di Argentina, gerakan buruh yang mendukung penuh united left (aliansi kiri) menjadi kekuatan dominan di Buenes Aires, yang mengancam kebijakan pasar bebas. Di Chili sejak tahun 1990, setelah mengalami demoralisasi tahun 1983-1986, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok rakyat mulai memobilisasi perlawanan. Misalnya, pada tanggal 14 Juli 1999, lebih dari 6.000 buruh pelabuhan dan para keluarganya berdemonstrasi di Valparaiso, memprotes melimpahnya pengangguran dan menentang rencana pemerintah menjual fasilitas-fasilitas milik negara. Demonstrasi berlangsung selama 24 jam, dengan didukung oleh para supir truk, dosen dan mahasiswa. Terhadap demonstrasi tersebut, presiden Chili Eduardo Frei dengan arogan menyatakan “pemerintah tetap pada pendiriannya”
Rakyat Nikaragua pun tidak pernah pasif menghadapi neoliberalisme. Sejak tahun 1990-an, pada awal-awal kebijakan tersebut dijalankan, serangkaian pemogokan dan demonstrasi buruh terjadi. Paling dramatis terjadi pada bulan Agustus 1994, ketika seluruh kaum buruh di sektor transportasi protes atas naiknya harga minyak. Selama 8 hari mereka mengambil alih distribusi minyak.
Sandinista, yang sebelumnya memerintah Nikaragua, pun aktif melakukan perlawanan. Pada tahun 1992, banyak eks gerilyawan yang bergabung kembali, dan mereka melakukan serangan militer dengan tuntutan perubahan politik dan ekonomi pada 1994.
Sejak tahun 1989 hingga 1999 federasi-federasi besar serikat-serikat buruh di Brazil, Bolivia dan Ekuador telah memobilisasi pemogokan-pemogokan nasional menentang kebijakan neoliberal, berkoordinasi dengan protes-protes jalanan, rally dan mobilisasi besar penduduk asli. Di Brazil, pada Februari 1998 sejumlah 4.000 buruh mogok menentang rencana parlemen untuk memotong anggaran di bidang keamanan dan pelayanan sosial. Bentrokan antara buruh dan aparat pun terjadi. Pada hari yang sama, sekitar 10.000 buruh di Sao Paulo turun ke jalan dengan tuntutan yang sama. Sementara pada bulan Agustus 1999, puluhan ribu supir truk melakukan mogok nasional, menentang kenaikan harga minyak. Perlawanan-perlawanan tersebut telah membuat pemerintah terdesak dan menawarkan berbagai konsesi.
Pada 1994, para petani Indian Maya, penduduk asli Meksiko, dengan dipimpin oleh Zapatista (sebuah organisasi perjuangan gerilya revolusioner) melakukan pemberontakan dan mengambil alih Chiapas, sebuah negara bagian di bagian Selatan Meksiko di dekat perbatasan dengan Guatemala, dan dikenal sebagai daerah termiskin sekaligus terbanyak penduduk aslinya. Revolusi Meksiko tahun 1910-1917, yang membawa reformasi sosial dan pertanian, meluas ke Chiapas; yang tetap dalam kontrol sekelompok kecil elit oligarki tuan tanah dan mesin politik partai penguasa, PRI. Pada tahun 1970 terjadi perubahan cepat di Chiapas. Pertama, ada perkembangan yang Dewan Rakyat amatis dan eksploitasi minyak, yang membawa akumulai modal secara masif. Perkembangan lainnya, adalah dijalankannya reformasi agraria untuk kebutuhan pembangunan dam, perkebunan dan industri. Eksploitasi minyak tersebut menyebabkan sengsara petani.
Sekitar tahun 1983-1984, sekelompok kecil kaum kiri revolusioner datang ke Chiapas dan mendorong perjuangan gerilya. Mereka kemudian membangun jaringan dengan para petani. Kemenangan partai penguasa atas pemilihan Presiden makin memperluas kebijakan neoliberal di Meksiko.
Peristiwa-persitiwa tersebut mendorong EZLN (Zapatista), membangun basis perjuangan gerilya yang luas. Pada 1 Januari -bertepatan dengan menguatnya NAFTA — Zapatista mulai melakukan pemberontakan di Chiapas. Dua belas hari pertempuran, dan pemerintah pun terdesak. Kemudian EZLN mengambil alih daerah-daerah penting di Chiapas, dan mulai mengadakan perundingan damai dengan pemerintah. Terpaksa, pemerintah Meksiko harus menyepakati konsesi di seputar demokratisasi — apa yang disebut oleh Zapatista sebagai “perdamaian dengan martabat dan keadilan”. Kegagalan fatal kaum kiri di Meksiko adalah ketika mereka mengalami kekalahan pada pemilihan Presiden tahun 1994.
Meksiko kembali mengalami kejatuhan finansial dan depresi ekonomi pada 1995.Akibatnya pemerintah harus kembali memperluas program neoliberal. Pada bulan Februari 1995, secara tiba-tiba pemerintah melancarkan serangan militer terhadap EZLN. Dimulailah perang di Chiapas. Kekerasan militer terhadap rakyat, kekerasan para-militer, pasukan pembunuh dan penghancuran tanaman pertanian terjadi. Sementara negosiasi antara pemerintah Meksiko dengan EZLN terus berlangsung, dan pada bulan Januari 1996, sebuah persetujuan dengan hak-hak penduduk asli ditandatangani. Namun, kembali pemerintah Meksiko tidak pernah mematuhinya. Justru, perang makin merajalela di Chiapas. Pada akhir tahun EZLN memutuskan untuk memperluas perang melawan pemerintah Meksiko.
Zapatista merupakan sebuah gerakan revolusioner yang berbasiskan penduduk asli dan petani. Gerakan mereka dibangun dengan sebuah institusi militer yakni EZLN, dan institusi komunitas petani (dan juga komunitas kota) yang secara aktif mendukung dan menentukan kebijakan umum gerakan. Sementara peran institusi militernya tunduk pada wewenang komunitas.
Perjuangan Zapatista akan reformasi sosial, ekonomi dan agraria, mendorong pengambilalihan tanah-tanah oleh para petani, dan memenangkan hak penduduk asli terhadap demokrasi dan otonomi. Dengan kemenangan pemerontakan pada 1994, perjuangan mereka kini telah berubah dari bawah tanah menjadi secara terbuka menentang neoliberalisme. Tuntutan akan hak demokrasi dan otonomi misalnya, adalah bagaimana penduduk asli dan para petani dapat mengelola sendiri ekonomi dan politik daerah-daerah yang dikuasai. Tanah-tanah dan industri kini menjadi milik kolektif penduduk setempat, mereka berproduksi dan mendistribusikannya secara kolektif. Sementara, di bidang politik, mereka dapat memilih wakil-wakil di legislatif secara langsung. Bahkan memilih walikota sekali pun.
Tidak hanya Zapatista kaum buruh di kota-kota pun dengan aktif melakukan perlawanan. Seperti buruh pertambangan Canena pada 1985, yang menentang swastanisasi, yang menyebabkan banyak pemecatan. Dukungan pun meluas, dari kelompok perempuan, gereja, dan serikat-serikat buruh lainnya.
Gerakan terdsebut tidak hanya dilakukan secra spontan tetapi juga terorganisir dan berkesinambungan. Setiap tahunnya kaum buruh di Meksiko memperingati hari buruh sedunia (May Day) pada tanggal 1 Mei dengan menggalang rally dan demonstrasi. Pada 1 Mei 1998, sejumlah 100.000 kaum buruh terlibat dalam demonstrasi yang dipimpin oleh UNT (National Workers Union), sebuah Serikat Buruh independen, yang mengajukan tuntutan perubahan kebijakan ekonomi, kenaikan upah, penghapusan praktek-praktek serikat buruh koorporatis, demokratisasi dan otonomi serikat buruh. Tidak hanya tuntutan buruh tetapi juga penolakan terhadap program swastanisasi.
Berulang tepat setahun berikutnyam, sekitar 100 organisasi buruh menggelar demonstrasi besar yang melibatkan sekitar 250.000 buruh. Mereka menentang reformasi perburuhan yang dijalankan pemerintahan Meksiko, dan menentang swastanisasi perusahaan listrik. Demonstrasi tersebut berlangsung beberapa hari dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan Zapatista, dan didukung oleh puluhan ribu mahasiswa.
Lebih maju lagi, sebuah organisasi politik didirikan oleh UNT, Gerakan Sosial Buruh, dan saat ini tengah mengadakan kampanye di seluruh wilayah dengan agenda terbentuknya “sebuah partai buruh”.
Sementara, sebuah aliansi yang melibatkan banyak kelompok gerakan kiri di Meksiko mengambil bagian perjuangan menentang neoliberalisme, dengan tuntutan-tuntutan yang lebih politis.Mereka mengadakan sebuah rally yang melibatkan hampir 100.000 massa. Dinamakan Intercindical, mereka terdiri dari beberapa serikat buruh kiri, buruh-buruh yang telah dipecat, kaum buruh perkebunan, para pekerja pemerintahan federal dan Zapatista.
Tuntutan politik yang diajukan adalah penolakan terhadap utang Meksiko, pembebasan seluruh tahanan politik, dan menentang kebijakan pemerintah di Chiapas. Kedua kelompok gerakan radikal ini mencoba membuka dialog diantara mereka, karena ada berbagai kesamaan tuntutan.
Semua sektor rakyat di Meksiko memberikan perlawanan keras terhadap neoliberalisme. Beberapa hari sebelum May Day, tepatnya tanggal 30 April 1999, mahasiswa dari National Autonomous University of Mexico (UNAM) menggelar pemogokan umum yang melibatkan lebih dari 250.000 massa mahasiswa. Pemogokan berlanjut hingga tanggal 5 Mei yang meluas ke universitas-universitas di seluruh negeri (18 negara bagian). Perlawanan mahasiswa tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Meksiko yang menaikkan biaya kuliah dan swastanisasi pendidikan.
Setelah 10 jam sidang, sebuah badan koordinasi telah menyetujui beberapa daftar tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan tersebut termasuk, 8 % GDP untuk pendidikan, dengan 2,5 % untuk pendidikan yang lebih tinggi, penghapusan ikatan dengan National Center of Evaluation, demokratisasi kampus.
Demonstrasi berlangsung setiap hari, dan dukungan pun mengalir termasuk dari kaum buruhnya. Misalnya Serikat Buruh Listrik telah mencetak 100.000 selebaran atas nama gerakan UNAM untuk didistribusikan selama May Day. Sementara Serikat Buruh Universitas UNAM sendiri telah memberikan sumbangan sebesar 20 peso dari setiap buruhnya, totalnya 50.000 peso.
Pada tanggal 7 Mei, ribuan anggota organisasi kaum miskin kota, Francisco Villa Popular Front dan Urban Movement melakukan rally melewati bagian Selatan Mexico City menuju UNSM untuk mendukung pemogokan umum mahasiswa. Mereka meneriakkan yel-yel seperti “pendidikan sekarang untuk anak-anak buruh, pendidikan nanti untuk anak-anak borjuis.”

NEOLIBERALISME DI INDONESIA

Krisis Ekonomi

Apa yang terjadi pada akhir tahun 1997 sungguhlah mencengangkan, banyak negeri di Asia tiba-tiba saja diguncang badai krisis. Pertumbuhan 7-8 % per tahun, Asian Miracle dan sebagainya yang selama puluhan tahun dipuji-puji oleh banyak pejabat, IMF, dan ekonom-ekonom liberal lenyap dalam sekejap. Di Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % (antara Juli dan Februari 1998, bahkan pernah nilai rupiah menyentuh angka Rp. 16.000 per 1 US dollar). Industri, terutama yang berbahan baku impor dan modalnya diperoleh dari hutang luar negeri, gulung tikar. Puluhan juta buruh kehilangan pekerjaan akibat PHK, harga-harga barang melambung lebih dari 100 %, inflasi terjadi hingga 77,6 % dari satu tahun sebelumnya. Krisis, yang oleh banyak ekonom borjuis disebut krisis moneter, telah menyebabkan pendapatan per kapita merosot dari 1.200 US dollar menjadi 500 US dollar. Dampak sosial paling mencolok adalah jumlah penduduk miskin yang berlipat menjadi hampir 80 juta orang. Ini adalah data terakhir BPS.
Akibat terpaan krisis tersebut, tingkat kesejahteraan rakyat pun merosot jatuh. Daya beli menurun, sementara harga-harga barang menukik tajam, jauh tak terjangkau oleh mayoritas rakyat. Hilangnya satu generasi lantaran tak sanggup mengkonsumsi gizi yang cukup serta mahalnya harga obat-obatan, menjadi satu kekhawatiran baru.
Lantas, bagaimana upaya pemerintah untuk keluar dari kemelut krisis maha dahsyat ini ? Bagaimana strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan menyesakkan ini ? Pemerintahan Soeharto, Habibie, maupun pemerintah baru Gus Dur-Mega mempunyai cara pandang, analisa dan strategi yang sama dalam menyikapi hal tersebut. Pertama, bahwa krisis disebabkan oleh KKN dan konglomerasi yang lahir dari proses kroni-isme, kedua, krisis ini sangat lokal sifatnya.
Pandangan serupa juga dimiliki oleh modal internasional, yang diwakili oleh IMF. Ditambah lagi dengan pandangan rasialis IMF yang menyebut bahwa krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, yaitu, cara orang Asia berbisnis yang sarat dengan praktek KKN.
Krisis ekonomi telah menyebabkan ambruknya bangunan sistem ekonomi Indonesia. Sektor riil terseok-seok, perbankan nasional terpuruk dahsyat, tekanan terus-menerus terhadap nilai rupiah, dan tingginya beban hutang luar negeri membuat pemerintahan kesulitan dana untuk me-recovery perekonomian. Sehingga, dengan alasan kebutuhan dana tersebut, pemerintah tunduk sepenuh-penuhnya pada saran dan kebijakan IMF. Memang faktornya bukan karena kebutuhan dana dari IMF belaka, lebih jauh lagi, persamaan perspektif antara keduanya, bahwa penyelesaian krisis ekonomi tersebut haruslah tetap berada dalam alur kapitalisme yang kali ini muncul dengan wajah barunya, yaitu neoliberalisme. Seolah-olah sebelum berlangsungnya krisis, yakni semasa Orde Baru rakyat Indonesia tidak mengalami penindasan ekonomi. Atau, dengan kata kata lain, guna menutupi eksploitasi nilai lebih dari sistem kapitalisme, pemerintah dan IMF berusaha mencari kambing hitam penyebab krisis, yaitu KKN dan praktek konglomerasi. Padahal sesungguhnya kedua hal tersebut hanyalah faktor yang memperparah saja, dan bukan faktor fundamental.
Kebijakan neoliberal, dimana salah satunya adalah skema SAP (Structural Adjusment Program) atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah:
1. Liberalisasi perdagangan
2. Privatisasi/swastanisasi BUMN
3. Penghapusan subsidi (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain)
4. Restrukturisasi keuangan
Guna memperjelas pemahaman tentang wujud dan praktek dari paket kebijakan neoliberalisme berikut dengan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya, mari kita bahas satu per satu :

Liberalisasi Perdagangan

Kebijakan ini bertujuan membuka pasar Indonesia lebih luas lagi bagi barang-barang dari luar negeri –menghapus proteksi bagi barang-barang domestik–, dan membuka liberalisasi investasi. Pasar domestik harus berdasar mekanisme pasar (kompetisi). Jadi, regulasi dan birokrasi yang menghambat harus dihapuskan. Tidaklah mengherankan jika pada masa rezim Habibie, demi mendapatkan kucuran dana dari IMF, dengan cepat pemerintah melengkapi syarat-syarat yang diajukan IMF yaitu, menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0 % dan komitmen dalam jangka panjang penghapusan secara keseluruhan bea masuk produk agroindustri. Tak peduli dengan dampak sosial yang ditimbulkannya, yakni sengsaranya petani padi dan tebu karena harga beras dan gula jatuh. Jutaan petani lantas menjerit, bahkan petani tebu harus merugi 2,1 juta per hektar (Kompas, 27 Desember 1999). Demikian pula petani yang memproduksi beras. Akibatnya, banyak dari mereka tidak mampu mengembalikan KUT. Jika keadaan ini terus berlangsung, dimana serbuan beras dan gula impor merajai pasar domestik sampai pada tingkat over produksi, petani akan segan bertanam padi dan tebu, tak ayal, dalam jangka panjang sangat mungkin terjadi krisis pangan domestik di tengah melimpahnya produksi pangan dunia.
Segera saja, kebijakan ini disambut protes di mana-mana. Serikat petani tebu di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta melakukan aksi menentang gula impor (Kompas, 10 Desember 1999). Walaupun perlawanan ini kurang berdaya pukul kuat , –karena tidak melibatkan massa petani dalam jumlah besar serta kurang terorganisir– sehingga pemerintah hanya bergeming sedikit saja, setidaknya membuktikan bahwa telah muncul babak kesadaran massa rakyat untuk melawan kebijakan yang merugikannya. Pemerintah baru, Gus Dur, hanya sedikit merevisi kebijakan tersebut, dimana kemudian tarif bea masuk beras impor ditetapkan sebesar 30 % dan bea masuk gula impor sebesar 25 % per 1 Januari 2000. Tetap saja, perubahan kebijakan ini merugikan petani karena harga beras dan gula impor lebih rendah, sementara kualitasnya lebih bagus dibandingkan produk lokal.
Kenapa IMF sangat memaksakan kebijakan liberalisasi perdagangan kepada rezim Gus Dur? Jelas kepentingan modal internasional-lah yang mengais untung dari kebijakan ini. Mereka membutuhkan pasar untuk produk-produk industri pertaniannya, terutama Kanada dan AS, juga Uni Eropa. Bahkan, Amerika Serikat sendiri mengenakan tarif bea masuk gula impor sebesar 200 %. Jadi liberalisasi pasar ini maknanya agar negara dunia ketiga secepatnya meliberalkan pasarnya, sementara negara maju tetap mengenakan proteksi (dengan tarif ataupun hambatan non tarif) terhadap pasarnya sendiri.
Penghapusan tarif impor beras dan gula, hanyalah sebagian kecil dari paket kebijakan liberalisasi perdagangan yang direkomendasikan oleh IMF. Pengurangan tarif produk kimia, besi/baja, impor kapal, produk kulit, aluminium, dan semen adalah sektor-sektor perdagangan yang juga harus diliberalkan. Jadi, produk domestik yang berkualitas rendah — karena teknologi produksinya yang rendah– dipaksa bersaing dengan produk negara-negara maju, yang produknya lebih murah dan berkualitas. Di sisi lain, tak ada usaha pemerintah untuk membantu dan mendorong pengembangan teknologi produksi (pertanian, farmasi, baja, dan sebagainya) tersebut.
Di bidang investasi, sebagai syarat pencairan hutang, IMF merekomendasikan kepada pemerintah untuk: menghapus batasan kepemilikan saham 49 % bagi investor asing -kecuali perbankan–, menghapuskan larangan investasi pada sektor perkebunan, dan mencabut larangan investasi asing dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, waralaba, dan sebagainya). Modal internasional pun akan leluasa mengeksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan menggusur pasar-pasar rakyat. Bisa dibayangkan, dampak sosial muncul kemudian.

Swastanisasi BUMN

Pemerintahan Gus Dur berusaha meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa. Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah: bahwa BUMN-BUMN tersebut selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka yang terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan. Antara lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau Steel, dan PT. Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dan lain- lain.
Dampak swastanisasi BUMN bagi rakyat adalah pertama, mayoritas rakyat akan kehilangan jaminan untuk membeli komoditi dan jasa vital dengan harga murah. Selanjutnya, pembelian komoditi dan jasa tersebut harus dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar, yang jatuhnya pasti lebih mahal. Padahal, jika kekuatan rakyat mampu melikuidasi pimpinan-pimpinan lama (sisa-sisa Orde Baru), yang korup, yang masih bercokol kuat dalam BUMN-BUMN, dan melakukan kontrol politik yang ketat terhadap BUMN-BUMN tersebut, komoditi dan jasa yang dihasilkan bisa dijual dengan harga lebih murah. Kedua, pengelola yang baru (swasta) segera melakukan kebijakan merasionalisasi (mem-PHK) buruh guna mencapai efisiensi biaya produksi, dan atau melakukan mekanisasi alat-alat produksi yang berujung juga pada pengurangan buruh, tujuannya jelas, agar pencapaian profit bisa lebih maksimal. Bukankah memang demikian hukum besi kompetisi pasar ? Maka, wajarlah jika buruh PT. Pelindo II Tanjung Priok, menolak rencana swastanisasi ini dengan melakukan pemogokan. Mereka tahu bahwa pengelola yang baru akan segera mengurangi
20 % dari jumlah buruh. (Kompas, 31 Mei 2000). Demikian juga, karyawan dan masyarakat di sekitar PT Semen Padang, berunjuk rasa menentang rencana swastanisasi PT. Semen Padang. Jika ada puluhan BUMN yang akan diswastanisasi, berapa pula buruh yang akan di PHK ? Bisa dipastikan, pengangguran di Indonesia — yang sampai dengan 1999 menurut Ditasari ( Ketua Front Nasional Persatuan Buruh Indonesia) mencapai 24 juta orang — akan berderet kian panjang.
Jika swastanisasi dilakukan untuk memperoleh devisa, seperti dikemukakan pemerintah, argumentasi tersebut menjadi layak ditentang. Karena, sebenarnya banyak alternatif sumber dana lainnya tanpa harus menjual asset-asset rakyat banyak, misalnya dengan menaikkan PPH bagi individu yang berpendapatan lebih dari Rp.1 juta, menaikkan PPH Badan (bukannya diturunkan), mengenakan pajak bagi pendapatan bunga obligasi, menaikkan pajak kendaraan mewah dan barang mewah, pemutihan hutang luar negeri, mengurangi anggaran militer, menyita asset-asset Soeharto dan kroninya yang diperoleh dari hasil KKN, menyita perusahaan-perusahaan yang dikuasai militer, dan sebagainya, dan sebagainya.
Argumentasi bahwa BUMN-BUMN hanya menjadi sarang KKN, juga bukanlah alasan prinsip untuk kemudian men-swastanisasi. Institusi ekonomi mana (entah BUMN atau swasta), yang selama rezim Kleptokrasi (maling) Orde Baru tidak menjadi lahan korupsi/KKN ? Apakah perbankan (yang mayoritas adalah swasta), PT. Texmaco, dan lain- lain yang melakukan mega korupsi/KKN triliunan rupiah itu juga disebut BUMN ? Persoalan korupsi/KKN tidaklah bersumber dari siapa pengelola sebuah institusi perekonomian, tapi persoalan dasarnya adalah ketiadaan kontrol politik dari rakyat terhadap institusi-institusi perekonomian. Argumentasi yang lebih salah kaprah lagi, bahwa jika BUMN dikelola oleh swasta, profit yang dihasilkan akan lebih besar. Rakyat tidaklah pernah menuntut BUMN harus menghasilkan profit sebesar-besarnya, sederhana saja, yaitu bagaimana membeli kebutuhan-kebutuhan pokoknya dengan harga yang terjangkau. Ketika menghadapi krisis ekonomi, selalu kepentingan rakyat banyak yang dikorbankan, seperti kebijakan pemotongan subsidi BBM dan listrik, atau kehancuran yang dialami oleh petani padi dan tebu. Tidak pernah kepentingan borjuasi yang berkuasa dikorbankan terlebih dahulu.
Agar pemahaman kita terhadap dinamika kapitalisme global menjadi jelas, penting kita ketahui latar belakang dan kepentingan IMF (dan modal internasional) terhadap swastanisasi BUMN. Bahkan, proyeksi dari IMF yang dituangkan dalam Letter of Intents (LoI) dengan pemerintah Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun proses swastanisasi seluruh BUMN –kecuali sebagian kecil BUMN– akan terselesaikan (Kompas, 25 Nopember 1998). Kenapa IMF dalam LoI menganjurkan, –lebih sering berupa tekanan– kepada pemerintah Indonesia (semenjak Soeharto, Habibie, dan Gus Dur) bahwa untuk menutupi defisit anggaran dengan swastanisasi BUMN ? Tidak lain adalah untuk kepentingan modal internasional, bagi perluasan ekspansi modal mereka.
Pertama, modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bertanam bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa dari BUMN-BUMN adalah mayoritas rakyat Indonesia –Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia–. Bukankah ini potensi pasar yang sangat besar, dan jaminan bagi investor dalam mengejar profit? Swastanisasi ini juga akan merangsang investasi bagi surplus kapital di negeri-negeri induk imperialisme, yang selama ini terkonsentrasi di surga stock exchange (bursa saham), yang proses pelipatgandaan kapital-nya tidaklah riil, sangat spekulatif tapi guncangan-guncangan yang diakibatkannya sangat membahayakan investasi di sektor riil, dan mengganggu konstruksi modal internasional yang telah mapan. Dengan menekan negeri-negeri dunia ketiga untuk melakukan swastanisasi diharapkan mampu menarik minat investor di negeri dunia pertama untuk memindahkan investasinya ke sektor yang produktif.
Kedua, dalam kondisi kebutuhan dana yang mendesak, tentu nilai jual dari BUMN-BUMN tersebut sangatlah rendah, di tengah limpahan modal di negeri-negeri kapitalisme maju dan merosotnya borjuasi domestik. Dalam waktu yang singkat, PT. Astra Internasional, dan PT. Bentoel berpindah milik ke tangan George Soros. Karena, yang paling siap untuk membeli BUMN adalah modal internasional. Argumentasi-argumentasi tersebut bukan membela borjuasi domestik yang sedang terpuruk, tapi sekadar menggambarkan kenyataan ekonomi politik yang sedang berkembang, serta dampaknya bagi mayoritas rakyat (buruh, kaum miskin kota dan petani, dan mahasiswa).
Dengan penjelasan diatas, maka tingkat keuntungan (profit) yang dihasilkan dari pengelolaan BUMN yang berpindah milik ke tangan swasta akan mengalir ke kantong perusahaan-perusahaan internasional– Multi Nasional Corporation (MNC) –di negeri-negeri kapitalis maju.

Penghapusan Subsidi

Subsidi publik, bagi pengusung teori neoliberalisme, dianggap hanya pemborosan modal. Akan lebih baik modal tersebut dialokasikan ke sektor yang lebih produksif –tentu saja kepada pengusaha besar agar bisa melakukan ekspansi usaha–. Mereka tidak berkepentingan terhadap kebutuhan rakyat, dan menyerahkan nasib rakyat ke tengah kompetisi pasar, dimana berlaku hukum ‘siapa yang kuat, dia akan memenangkan persaingan dan memegang monopoli harga’. Propagandanya adalah, jika sektor-sektor pelayanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar, justru biaya yang akan ditanggung konsumen (rakyat) akan lebih murah. Benarkah demikian? Justru sebaliknyalah yang terjadi.
Awal Mei 2000, sebagai konsesi pinjaman modal dari IMF, rezim Gus Dur berencana akan mengurangi subsidi BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Segera saja kebijakan yang merugikan mayoritas rakyat tersebut menuai benih perlawanan dimana-mana. Partai Rakyat Demokratik (PRD), gerakan mahasiswa, serikat-serikat buruh, LSM-LSM menggelar aksi unjuk rasa di penjuru kota, segera setelah diumumkannya rencana tersebut. Dan ketika perlawanan mulai meruak, rezim agaknya ketakutan. Mungkin, belajar dari kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, akhirnya kenaikan harga BBM tersebut ditunda.
Kendati demikian, harga barang-barang termasuk juga tarif angkutan umum, terlanjur merangkak naik. Demikian juga TDL, yang dilakukan setelah mengelabui rakyat bahwa kenaikan tersebut tidak akan merugikan rakyat kecil karena hanya berlaku untuk konsumen golongan 900 watt ke atas. Ini adalah propaganda palsu! Bagaimanapun, naiknya listrik untuk sektor industri pasti menyebabkan naiknya harga produk. Mustahil kapitalis mau menanggung beban kenaikan biaya produksi ini. Kalaupun tidak menaikkan harga jual, pastilah langkah yang ditempuh adalah mengurangi kenaikan upah buruh.
Puluhan pabrik baja dan pabrik tekstil terancam gulung akibat kenaikan TDL, karena listrik adalah energi pokok dalam dunia industri. Bukankah ini berpotensi melipatgandakan jumlah pengangguran yang sampai kini belum teratasi ? Sementara di sisi lain, pemerintah menghambur-hamburkan dana untuk membeli listrik swasta –kasus kontrak listrik PT. Paiton dan Tanjung Jati–, dimana harga listrik swasta tersebut 3 kali lipat dari harga pasar.
Tidak hanya BBM dan TDL yang akan dikurangi subsidinya. Pada tahun 1999 yang lalu, subsidi pupuk sudah lebih dahulu dikurangi, yang dampaknya jelas menelangsakan petani. Akibatnya di beberapa daerah terjadi amuk lantaran petani tidak mampu membeli pupuk. Bahkan di Blora, Jawa Tengah, petani beramai-ramai menjarah gudang-gudang pupuk milik KUD dan agen penyalur pupuk, atau memaksa KUD menjual dengan harga lama. Akibat pengurangan subsidi tersebut, harga pupuk melonjak hampir 100 %, sementara harga jual (riil) produk pertanian menurun. Derita petani kian parah ketika Habibie dan Gus Dur, demi mengakomodir kepentingan modal internasional, meliberalkan tarif impor beras dan gula, seperti sudah diuraikan di muka.
Sebagai bagian dari paket kebijakan neoliberal, subsidi-subsidi sosial yang lain (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) dalam waktu dekat juga akan dikurangi. Bisa diprediksi, mayoritas rakyat akan makin sulit menyekolahkan anaknya dan membayar biaya kesehatan karena harga obat-obatan dan jasa pelayanan kesehatan semakin menggila.

Restrukturisasi keuangan

Restrukturisasi keuangan ini menyangkut dua hal, yaitu, rekapitalisasi perbankan dan penyelesaian hutang (hutang luar negeri pemerintah dan swasta, penyelesaian kredit-kredit macet domestik oleh BUMN-BUMN maupun oleh swasta). Biaya untuk rekapitalisasi perbankan menelan dana yang luar biasa besar, hingga ratusan trilliun rupiah. Keseluruhan dana tersebut (baca: BLBI)–yang seharusnya menjadi hak mayoritas rakyat– dipergunakan untuk menutupi dampak kredit macet dari segelintir orang. Ironisnya lagi, kucuran dana BLBI ini, bukannya segera digunakan untuk menyehatkan bank-nya yang collaps, tetapi justru menjadi lahan subur korupsi bagi bankir ataupun pejabat BI dan birokrasi. Bahkan, pengusutan secara hukum debitur-debitur yang tersangkut kredit macet dan pengusutan dana BLBI yang dikorup selama hampir tiga tahun tidak membuahkan hasil memuaskan. Penyebabnya, debitur-debitur, ataupun juga birokrat yang tersangkut korupsi dana BLBI tersebut masih bercokol kuat dalam pemerintahan baru ini –baik di parlemen, birokrasi, militer, ataupun sebagai pimpinan-pimpinan BUMN– sehingga proses hukumnya menjadi sulit. Ini adalah bukti belum lenyapnya kekuatan-kekuatan Orde baru (Golkar, militer, dan birokrat korup), mereka terus berproses, berkonsolidasi menjadi lebih kuat lagi.
Anggaran untuk rekapitalisasi perbankan dari APBN 2000 sangat besar yaitu Rp. 58, 9899 triliun ( 30 % lebih dari total pengeluaran APBN 2000), dengan rincian, untuk membayar utang bunga obligasi pemerintah sebesar Rp. 42,3649 triliun, dan untuk cicilan bunga utang luar negeri Rp.16,625 triliun. Dana rekapitalisasi perbankan tersebut jelas sekali sangat membebani APBN. Padahal pemerintah terus mengeluarkan obligasi (hakekatnya adalah hutang pemerintah) untuk keperluan dana bagi biaya rekapitalisasi perbankan. Artinya, setiap tahun beban APBN untuk biaya rekapitalisasi perbankan ini akan semakin besar.
Modal internasional dan IMF sangat berkepentingan terhadap pulihnya dunia perbankan, karena perbankan adalah instrumen penting dalam penyediaan modal bagi beroperasinya sistem kapitalisme. Perbankan yang sehat, akan menopang kelancaran eksploitasi surplus value dari Indonesia. Maka, tak menjadi soal bagi IMF dan pemerintah demi tercukupinya dana rekapitalisasi perbankan dilakukan pemotongan subsidi-subsidi untuk rakyat (pupuk, BBM, listrik).
Persoalan berat lainnya adalah penyelesaian hutang luar negeri yang hingga saat ini mendekati angka 155 millyar US dollar –lebih dari setengah total hutang tersebut adalah hutang pemerintah–. Rezim Orde Baru setelah era ‘Oil Boom’ pada akhir dekade 70’-an dimana devisa negara tidak bisa diraup lagi dari ekspor minyak, segera mengalihkan sumber pendanaannya, yakni hutang luar negeri. Dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri ini semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox. Suatu situasi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Ironisnya lagi, tidak jelas peruntukan dana dari hutang ini. Disinyalir tingkat kebocoran dana pinjaman ini mencapai 30 % — menurut pernyataan Jeffrey Winters, seorang pengamat Bank Dunia– dari total hutang luar negeri pemerintah. IMF, World Bank, ADB, dan institusi-institusi keuangan internasional lain sebagai lembaga kreditur bukannya tidak mengetahui persoalan ini, tapi mereka terus mengucurkan pinjaman. Sungguh tidak adil jika rakyat harus bertanggung jawab terhadap dana-dana pinjaman yang dicuri (criminal debt) ini. Lembaga-lembaga keuangan tersebut juga harus dituntut pertanggungjawabannya. Artinya, rakyat Indonesia harus terbebaskan dari tanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman yang dikorup tersebut.
Bahkan lebih jauh, lembaga-lembaga keuangan internasional sebagai kreditur, sudah cukup banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman ini, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek yang dari negara kreditur, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negeri kreditur, ataupun konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut. Sangat masuk akal sebenarnya, jika rakyat Indonesia mengajukan tuntutan pemutihan hutang luar negeri.
Tetapi, ternyata bukan jalan tersebut yang ditempuh oleh Habibie ataupun Gus Dur, untuk keluar dari jeratan hutang. Keduanya tetap mengandalkan hutang luar negeri sebagai jawaban mengatasi krisis. Justru pengajuan rescedulling pembayaran hutang yang dilakukan laksana menyimpan ‘bom waktu’ . Di satu sisi, suatu saat penundaan pembayaran ini akan jatuh tempo, di sisi yang lain, Gus Dur terus menerima pinjaman baru.
Dengan kebijakan ekonomi yang demikian, dari tahun ke tahun pembayaran hutang luar negeri ini akan semakin membebani APBN. Untuk tahun anggaran 2000 ini saja, biaya yang harus disediakan untuk membayar hutang luar negeri, yaitu cicilan bunga hutang dan cicilan hutang pokok yang jatuh tempo mencapai Rp. 25, 221 trilliun.

Upah Buruh Murah dan Jaring Pengaman Sosial

Langkah yang dilakukan Gus Dur untuk menarik dana dari investor (terutama investor asing) tetap mengorbankan kepentingan rakyat (baca: buruh) yaitu, dengan tetap dipertahankannya kebijakan upah buruh murah. Tidak jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang lalu. Kenaikan UMR pada tahun 2000 hanya 25 %, sangat kecil dibandingkan nilai riil upah buruh yang mengalami turun sekitar 100 % akibat inflasi. Tentu, kebijakan ini disambut gembira oleh pemodal internasional.
Para investor juga mengancam akan mengalihkan investasinya ke negeri lain, jika buruh-buruhnya mogok menuntut kenaikan upah. Kejadian ini dialami oleh buruh PT. Sony dan PT. Kong Tai. Rancangan Undang-Undang Serikat Pekerja yang sedang digodok di DPR pun masih memperlihatkan bahwa hak-hak buruh belum dijamin sepenuhnya: tidak dicantumkannya mogok sebagai hak kaum buruh, dilarangnya pegawai negeri membentuk serikat pekerja independen serta tidak dijaminnya hak-hak politik kaum buruh.
Bagaimana cara rezim Gus Dur dan IMF meredam dampak kebijakan neoliberalisme yang merugikan rakyat tersebut? Sebagai kamulflase seolah-olah kebijakan ini tidak merugikan rakyat, pemerintah menggulirkan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program tersebut sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik sekaligus meredam perlawanan rakyat. Suatu program yang tidak efektif sebenarnya karena tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Bahkan pada masa rezim Habibie, dimana Adi Sasono menjabat Menteri Koperasi, program JPS ini menjadi lahan korupsi kelas kakap.
Jika program JPS ini tak cukup efektif memanipulasi kesadaran rakyat, tampaknya rezim akan kembali menggunakan militer untuk menangkis perlawanan rakyat yang menentang kebijakan neoliberalisme. Seperti yang banyak terjadi di beberapa negara Amerika Latin. Apakah taktik memakai kekuatan militer ini akan, atau sedang terjadi di Indonesia ? Bagaimana nasib transisi demokrasi yang tengah berjalan ?
Melihat realitas ekonomi politik yang sedang berkembang, dengan jelas kita bisa melihat kecenderungan, ke arah mana muara kebijakan neoliberal sekaligus dampak-dampaknya tersebut bagi kelangsungan demokrasi.

Program Reformatif

Berulang kali pemerintah menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tersebut terpaksa dilakukan karena pemerintah membutuhkan dana, sementara tidak ada alternatif lain selain menadahkan tangan kepada IMF. Alasan kebutuhan dana sajakah ? Ternyata tidak. Sejak awal, kekuatan-kekuatan politik mainstream (PDIP, PAN, PKB, ataupun Golkar) memiliki pandangan yang sama terhadap krisis di Indonesia. Jelasnya, alasan ‘terpaksa’ tersebut hanyalah untuk mengelabui rakyat, wajar jika pemerintah dengan semangat, rela hati menjalankan semua rekomendasi kebijakan ekonomi dari IMF.
Maka, upaya-upaya penghematan yang harus dijalankan –tentunya sesuai dengan petunjuk IMF- adalah dengan mengurangi, dan secara bertahap akan menghapus subsidi-subsidi publik ( BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, termasuk paket-paket kredit untuk rakyat kecil, dan sebagainya) seperti diuraikan di muka. Padahal, hal tersebut tak bisa dikatakan penghematan. Jika serius, ingin berhemat, masih banyak alternatif lain tanpa harus mengorbankan rakyat.
Akan kami tunjukkan alternatif penghematan tersebut yakni: Program pemutihan hutang luar negeri, minimal adalah penghapusan sebagian dan atau moratorium; pengurangan anggaran belanja barang inventaris kepegawaian; pengurangan anggaran belanja militer non dana kesejahteraan prajurit hingga perwira pertama; pembatalan kenaikan gaji pegawai dari tingkat esselon ke atas; pembatasan penggunaan mobil pribadi (jika pengematan BBM menjadi alasan menaikkan harga BBM); pembatasan kepemilikan mobil pribadi (maksimal 1 keluarga 1 mobil) dan sebagainya. Langkah penghematan inilah yang seharusnya dilakukan oleh rezim Gus Dur.
Sementara untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah justru menjual BUMN-BUMN yang merupakan aset milik rakyat. Padahal, sebenarnya masih ada alternatif lain, minimal dalam jangka pendek. Sumber-sumber dana alternatif yang kami maksud adalah: Pertama, menaikkan pajak PPh (Pajak Penghasilan) Perseorangan bagi individu yang berpendapatan lebih dari 1 juta per bulan, PPh Badan dengan diberlakukan secara progressif, menaikkan pajak penjualan barang mewah (PPN BM) dan pengenaan pajak dari pendapatan bunga obligasi (prosentasenya minimal sama dengan pajak deposito). Kedua, penyitaan asset-asset hasil KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Ketiga, pengusutan dan penyitaan dana hasil KKN di BUMN-BUMN (menurut PWC untuk Pertamina saja dana yang dikorup sekitar 5 milyar US dollar). Keempat, pengusutan dan penyitaan dana KKN dari kredit yang macet dari debitor-debitor besar. Kelima, pengusutan dan penyitaan dana BLBI yang dikorup oleh pengusaha ataupun oleh birokrasi, dan sebagainya.
Jika langkah-langkah tersebut dilakukan secara serius, tak perlu lagi pengurangan subsidi BBM dan listrik, hutang luar negeri, dan swastanisasi BUMN. Sekali lagi, solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek, karena hanya mampu menunda ekspansi dan eksploitasi modal untuk sementara waktu saja — karena pada akhirnya karakter progresif dari modal tidak cukup mampu dibendung dengan langkah-langkah tersebut–. Solusi menyeluruh bagi rakyat adalah: jika kita secara radikal merumuskan sistem ekonomi alternatif yang lebih manusiawi untuk menjawab bencana kemanusiaan dari sistem kapitalisme. Sistem ekonomi alternatif tersebut, sayangnya tidak berada dalam kerangka kapitalisme, dan harus di luar kapitalisme.

Dewan Rakyat

Permasalahan besar yang dihadapi rakyat Indonesia adalah kapitalisme dan bagaimana mengatasi krisis. Mustahil akan menyelesaikan krisis ini dengan implementasi kebijakan neoliberalisme, seperti yang dilakukan oleh rezim Gus Dur-Mega, justru ketika neoliberalisme adalah jalan keluar kapitalisme untuk keluar dari krisisnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, terpenting yang dilakukan adalah mencari cara untuk mendorong partisipasi rakyat-ekonomi dan politik-dalam menghadapi krisis. Partisipasi tersebut akan semakin nyata, jika rakyat mampu mengorganisir diri, karena rakyat yang terorganisir akan mampu mempertahankan hak-haknya dan melakukan perlawanan menentang neoliberalisme dalam short-term struggle (perjuangan jangka pendek), yakni, perjuangan yang masih reformis seperti: menentang pemotongan subsidi, menuntut kenaikan upah, menuntut pengadilan bagi Soeharto dan sebagainya.
Bagaimana cara rakyat mengorganisir diri?
Rakyat harus terorganisir dalam organisasi-organisasi sektor (bisa berdasarkan profesi dan sebagainya) seperti: serikat-serikat buruh, serikat-serikat petani, serikat mahasiswa dan sebagainya. Serikat tersebut harus dibentuk hingga tingkat pabrik, kampus, kampung. Tidak harus dalam bentuk serikat dalam arti formal, bisa saja dengan komite-komite aksi untuk satu persoalan tertentu (kenaikan upah, kades yang korup dan sebagainya).
Aliansi bersama dari masing-masing organisasi sektor. Hal ini telah sering dilakukan, kendati masih sebatas komite aksi bersama. Perspektif ke depan, aliansi ini harus didorong lebih maju menjadi aliansi strategis, aktifitasnya bukan hanya aksi tetapi juga acara-acara diskusi dan pendidikan politik bersama. Program yang berkesinambungan ini tentu akan melahirkan kesadaran perjuangan bersama dan menghasilkan kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat.
Kemampuan mengorganisir diri, mangatur diri, dan melibatkan banyak orang akan tercipta bersama dalam keterlibatan langsung pada pengorganisiran rakyat. Mengorganisir aktifitas rakyat, untuk persoalan yang mungkin dianggap ‘sepele’ seperti: mengorganisir penyediaan bahan-bahan kebutuhan rakyat sehari-hari (minyak, beras, dan sebagainya). Pada saat krisis ini, dimana harga-harga melonjak tak terkira, wadah-wadah rakyat dibutuhkan untuk mengatasinya. Komite Distribusi Minyak bisa saja dibentuk untuk menjamin rakyat memperoleh minyak dengan harga murah, atau komite-komite rakyat yang lain. Aktifitas seperti ini akan sangat berguna bagi organisasi-organisasi rakyat untuk belajar mengatur kebutuhan-kebutuhannya sendiri maupun orang banyak.
Pengalaman mengorganisir diri dalam komite-komite atau serikat-serikat rakyat akan menjadi dasar bagi peningkatan kemampuan rakyat untuk menjalankan long-term struggle (perjuangan jangka panjang). Merupakan basis untuk menapak lebih maju dengan membentuk Dewan Rakyat. Sebuah bentuk partisipasi penuh rakyat dalam melawan kapitalisme secara radikal.
Secara sederhana kami akan menjelaskan tentang apa dan bagaimana Dewan Rakyat harus dibentuk:
Anggota Dewan Rakyat tersebut benar-benar dipilih –bukan diangkat– dari bawah secara demokratis. Rakyat akan menentukan wakilnya di Dewan Rakyat dengan pemilihan langsung dari tingkat teritorial paling rendah (RT/RW). Dewan Rakyat ini menjalankan fungsi legislatif sekaligus eksekutif secara tidak dipisah. Karena, jika dipisahkan pertama, badan legislatif hanya akan menjadi tempat untuk berdebat, berdiskusi, dan mengambil keputusan saja. Kedua, agar lebih memudahkan rakyat mengontrol fungsi eksekutif dari Dewan Rakyat. Misalnya di salah satu RW ada 2000 warga, ditentukan anggota Dewan Rakyat-nya 10 orang, maka 1 anggota Dewan Rakyat tersebut mewakili 200 orang. Kesepuluh orang tersebut menjalankan fungsi legislatif, sementara badan eksekutif akan menjalankan keputusan-keputusan Dewan Rakyat dipilih oleh 10 orang tersebut.
Di tingkat yang lebih tinggi, kampung misalnya, Dewan Rakyat-nya terdiri dari para anggota eksekutif dari Dewan Rakyat tingkat RW, demikian seterusnya sampai tingkat nasional. Semua perwakilan dari tingkat paling bawah sampai ke atas berada dalam kontrol rakyat. Karenanya, bisa saja sewaktu-waktu direcall atau dicabut mandatnya jika melakukan tindak kejahatan, misalnya.
Dewan Rakyat ini tidak sekedar berfungsi politik, tapi juga ekonomi. Peran Dewan Rakyat dalam perekonomian adalah :
1. Menyita dan mengontrol seluruh kekayaan perusahaan Soeharto dan kroninya.
2. Menasionalisasi seluruh BUMN untuk dikelola secara kolektif, sehingga hasil-hasil produksinya dapat ditingkatkan dan didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Semua BUMN tersebut pengawasannya tersentral oleh Dewan Rakyat tingkat nasional. Sisa keuntungan dapat dialokasikan ke sektor-sektor lain (kesehatan, pendidikan, tunjangan pensiun, peningkatan gizi anak, dan sebagainya), atau untuk mendorong pengembangan industri-industri vital (baja, farmasi, dan sebagainya).
3. Menasionalisasi dan mengontrol seluruh sumber daya alam dan ekonomi yang mengusasi hajat hidup orang banyak, untuk dikelola secara kolektif guna menyediakan barang dan jasa murah bagi rakyat. Pengelolaan tersebut dibawah tanggungjawab Dewan Rakyat Nasional melalui Dewan Rakyat di daerah.
4. Mengontrol beroperasinya perusahaan-perusahaan asing dengan jaminan ada transfer teknologi, dan pembagian keuntungan yang adil. Hasil dari pembagian keuntungan akan dipergunakan untuk menunjang sector-sektor industri lainnya yang penting untuk dikembangkan.
5. Menasionalisasi Bank-Bank dan mensentralisasikannya dalam satu Bank Sentral Nasional. Nasionalisasi bank akan dimanfaatkan untuk mendorong industri-industri yang menunjang produktifitas rakyat. Pensentralan bank ini dilakukan tanpa harus melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya.
6. Mengontrol seluruh perdagangan dan pertukaran mata uang asing. Kontrol terhadap perdagangan dan mata uang penting guna menjamin tercukupinya kebutuhan rakyat, dan memudahkan perencanaan produksi dengan stabilnya nilai tukar rupiah.
7. Dalam kebutuhan mendesak, Dewan Rakyat berperan sebagai distributor barang-barang dan jasa pokok dengan harga murah dan terjangkau oleh mayoritas rakyat.
8. Mengontrol harga barang-barang dan jasa untuk menjamin terjangkaunya harga oleh mayoritas rakyat.
9. Menjamin pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan pada perbaikan alat-alat dan peningkatan kapasitas produksi dan kemampuan mengembangkan produksi. Pengembangan teknologi tersebut diprioritaskan pada industri-industri manufaktur berat (baja, besi, dan lain- lain). Prioritas tersebut untuk menjamin penyediaan bahan baku bagi industri lain yang pokok bagi rakyat (tekstil, kertas, farmasi, bahan pangan dan lain-lain ).
10. Meningkatkan ilmu dan teknologi pertanian untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan produksi pangan sehingga murah, bergizi dan massif.
11. Mendorong (jika perlu dengan subsidi) sektor-sektor industri swasta (yang belum mampu dikelola bersama) sehingga mampu memberikan sumbangan positif bagi produktifitas nasional.
12. Menyediakan sarana-sarana pendidikan yang murah dari SD sampai dengan universitas dan penyediaan sarana-sarana pendidikan (laboratorim, dana riset, buku dan lain-lain)
13. Menyediakan sarana-sarana transportasi umum yang murah dan dapat menjangkau sampai ke pelosok-pelosok guna mempermudah aktifitas penting (sekolah, kerja, distribusi barang).
14. Menyediakan perumahan-perumahan murah bagi rakyat.
15. Menyediakan sarana-sarana kesehatan yang murah dan memadai seperti rumah sakit-rumah sakit hingga tingkat kecamatan.
Dewan Rakyat hanya bisa kita wujudkan dengan kerja keras dari seluruh kekuatan politik progresif dan revolusiner (parpol, kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan intelektual progresif). Konsentrasi bagi pembentukan Dewan rakyat adalah bagaimana secepatnya meningkatkan kesadaran politik rakyat. Dewan Rakyat hanya mungkin dibentuk dengan kesadaran massa yang progresif- revolusioner dan partisipasi politik rakyat yang tinggi ***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar